Senin, 25 Mei 2009

Etika Bisnis dalam Perpektif Islam

Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq

Wacana Etika dalam Bisnis

Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor".

Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.

Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."

Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."

Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"

Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.

* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon, Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon

Jumat, 08 Mei 2009

Mempersiapkan Generasi Wirausahawan Baru Indonesia

"When planning for a year, plant corn.

When planning for a decade, plant trees.

When planning for life, train and educate people."

(Chinese proverb by Guanzi - 645BC)



Penelitian yang dilakukan oleh Global Entrepreneurship Monitor (GEM) di 42 negara pada tahun 2006, termasuk Indonesia, mendapati terbanyak wirausahawan memulai kegiatan usaha mereka di usia 25-34 tahun. Usia ini adalah saat sebagian besar orang lulus dari perguruan tinggi atau bekerja kurang dari 10 tahun.



Hal tersebut menunjukkan bahwa wirausahawan Indonesia saat ini adalah "produk" dunia pendidikan di era tahun 1978-1988, saat sekolah-sekolah sangat dibatasi kreatifitasnya dan lebih banyak mengejar kuantitas isi (materi) daripada inovasi.



Tidaklah heran jika kita dapati generasi wirausahawan Indonesia saat ini sangat miskin inovasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka memulai berwirausaha karena keterpaksaan (necessity), menjadikan usaha mereka sukar berkembang dan bersaing di pasar global. Sebagian besar dari mereka bukanlah wirausahawan sejati.



Oleh karena itu, adalah tugas dunia pendidikan mempersiapkan generasi baru wirausahawan Indonesia. Dunia pendidikan harus berbenah agar generasi muda dipersiapkan sejak dini. Melakukan transformasi agar kelak kita bisa melihat jutaan wirausahawan sejati dilahirkan di bumi pertiwi.


Siapakah Wirausahawan Sejati?



Tulisan ilmiah dan penelitian tentang kewirausahaan telah berkembang dan tersebar dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, psikologi, sosial dan manajemen.



Salah satu subjek penelitian yang populer, selain proses kewirausahaan, adalah tentang profil wirausahawan sejati. Apakah seorang wirusahawan sejati memiliki sesuatu yang khusus yang membedakannya dengan orang biasa?



Ada berbagai jawaban yang dihasilkan. Bahkan, tahun 1998, Michael Morris seorang profesor dari Georgetown University menyebutkan ada 17 karakter khusus wirausahawan yang dikumpulkannya dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dalam bidang kewirausahaan.



Walaupun demikian, didalam keragaman pendapat tersebut, hampir semua ahli menyetujui bahwa terdapat satu ciri yang membedakan seorang wirausahawan. Adalah kemampuannya untuk menemukan dan menciptakan sebuah peluang serta secara aktif mewujudkannya menjadi sesuatu yang bernilai untuk masyarakat.




Bagaimana Cara Mendidiknya ?



Dengan mengacu kepada hasil penelitian tentang ciri khusus wirausahawan sejati, pertanyaan berikutnya adalah, dapatkah mereka dipersiapkan? Jika dapat, bagaimana caranya?



Ada pro dan kontra untuk jawaban pertanyaan tersebut. Namun satu pendapat menarik mengatakan, bahwa jika wirausawan sejati tidak dapat dilatih, maka "profesi" ini akan menjadi satu-satunya di dunia ini yang tidak bisa disentuh dunia pendidikan. Satu hal yang tentu saja sangat absurd.



Bahkan Peter Drucker, seorang guru dibidang manajemen modern pun mengatakan bahwa wirausahawan sejati dapat dilatih. Hanya saja memang perlu perubahan dan terobosan pada metoda belajar yang tradisional serta perlu didukung oleh lingkungan yang entrepreneurial (bercirikan kewirausahaan).



Sampai saat ini, memang belum ada satu program atau kurikulum yang dianggap terbaik dalam mendidik calon wirausahawan. Namun dari berbagai penelitian dan percobaan, terdapat dua hal yang dianggap sebagai faktor kunci untuk melatih calon wirausawahan.



Pertama adalah metoda belajar yang berbasiskan pengalaman (experiental learning). Dengan metoda ini, peserta dibawa kedalam situasi khusus dimana mereka akan secara sekaligus memahami konsep, melatih ketrampilan dan membentuk sikap dan semangat seeorang wirausahawan sejati. Pengalaman yang direncanakan secara bertahap dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan membawa peserta menjadi (to be) seorang wirausahawan sejati.



Kedua adalah metoda dan lingkungan belajar yang melibatkan mentor (mentor based learning). Mentor adalah wirausahawan aktif yang dapat "menularkan" semangat dan pola pikir wirausawahan kepada para peserta. Selain itu, para mentor juga diharapkan membuka akses informasi kepada para calon wirausahawan. Akses yang dapat membantu peserta menemukan dan menciptakan peluang.



Transformasi Dunia Pendidikan



Agar dapat mengaplikasikan metoda dan lingkungan belajar tersebut, maka dunia pendidikan harus melakukan transformasi diri. Tanpa transformasi yang sungguh-sungguh semua metoda tersebut pada akhirnya hanya akan baik diatas kertas namun akan mendapatkan banyak kendala dalam pelaksanaannya.



Transformasi pertama adalah pada sistem dan budaya pengelolaan sekolah. Sistem dan budaya yang bercirikan birokrasi harus dirombak menjadi sistem dan budaya yang entrepreneurial. Sebagai contoh, dengan budaya baru ini, seluruh jajaran sekolah mendapatkan kesempatan dan penghargaan jika mereka melakukan inovasi untuk kemajuan sekolah mereka..



Transformasi kedua adalah pada standar perilaku dan kompetensi staf pengajar. Mereka tidak boleh lagi menjadikan diri mereka sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi lebih menjadi seorang pengajar pembelajar (learning teacher) yang bersama-sama para anak didik menggali dan mengolah subjek materi sehingga menjadi sesuatu yang lebih bernilai.



Transformasi ketiga adalah pada sistem evaluasi (assessment) para anak didik. Evaluasi harus dikembangkan tidak hanya pada tingkatan yang rendah yaitu mengingat dan memahami materi, tetapi harus dibawa ke tingkat yang lebih tinggi hingga dapat melakukan aplikasi dan kreasi.



Terakhir dan terpenting, transformasi juga harus dilakukan pada peran, peraturan dan kebijakan pemerintah. Dengan keterbukaan dan pemahaman yang baru tentang pentingnya kewirausahaan dimasa mendatang, seharusnya pemerintah mulai dengan menetapkan visi baru dunia pendidikan dan membangun peran, peraturan dan kebijakan yang mengacu kesana.



Tanpa keempat transformasi tersebut secara menyeluruh, maka kita hanya akan menunggu waktu. Dalam dua atau tiga dekade mendatang, bangsa kita hanya akan menjadi penonton dan menjadi korban situasi yang semakin tak berdaya. Salah siapa? (MARGIMAN)



*Penulis adalah Executive Director Ciputra Entrepreneurship

Quo Vadis Kewirausahaan di Indonesia?

We are in the midst of a silent revolution -a triumph of the creative and entrepreneurial spirit of humankind throughout the world. I believe its impact on the 21st century will equal or exceed that of the Industrial Revolution in the 19th and 20th (Jeffry A. Timmons, The Entrepreneurial Mind)

Pada tahun 2006, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di Indonesia terdapat 48,9 juta usaha kecil dan menengah (UKM), menyerap 80% tenaga kerja serta menyumbang 62% dari PDB (di luar migas). Data tersebut sekilas memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa.

Terlebih lagi ditambahkan dengan data hasil penelitian dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) yang menunjukkan bahwa pada tahun yang sama, di Indonesia terdapat 19,3 % penduduk berusia 18-64 tahun yang terlibat dalam pengembangkan bisnis baru (usia bisnis kurang dari 42 bulan). Ini merupakan yang tertinggi kedua di Asia setelah Philipina (20,4%) dan di atas China (16,2) serta Singapura (4,9%).



Namun di sisi lain, data BPS pada tahun yang sama juga menunjukkan masih terdapat 11 juta penduduk Indonesia yang masih menganggur dari 106 juta angkatan kerja, serta 37 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Fakta-fakta tersebut seakan-akan menunjukkan kewirausahaan di Indonesia tidak dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kesejahteraan bangsa.



Padahal seorang pakar kewirausahaan, David McClelland mengatakan bahwa jika 2% saja penduduk sebuah negara terlibat aktif dalam kewirausahaan, maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan sejahtera. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Profesor Edward Lazear dari Stanford University yang mengatakan bahwa wirausahawan adalah pelaku paling penting dari kegiatan ekonomi modern saat ini.



Apakah ada yang keliru dari data-data tersebut? Ataukah data-data tersebut tidak mencerminkan kondisi kegiatan kewirausahaan yang sesungguhnya? Atau semua hal tersebut memang gambaran yang sesungguhnya dan kita perlu melakukan pembenahan yang lebih serius pada dunia kewirausahaan di Indonesia.


Profil Kewirausahaan di Indonesia



Kegiatan kewirausahaan di Indonesia berkembang paling pesat saat krisis moneter melanda pada tahun 1997. Dari hanya 7000 usaha kecil di tahun 1980 melesat menjadi 40 juta pada tahun 2001. Artinya banyak usaha kecil yang muncul di saat krisis tersebut dikarenakan kebutuhan (necessity) dan kurang didorong oleh faktor inovasi.



Jika data BPS tahun 2006 ditelaah lebih lanjut, 48,8 juta usaha kecil di Indonesia tahun 2006 menyerap 80,9 juta angkatan kerja. Berarti setiap usaha tersebut hanya menyediakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri ditambah 1 orang lain. Sementara itu pada saat yang sama, 106 ribu usaha menengah menyerap 4,5 juta tenaga kerja yang berarti 1 kegiatan usaha menengah menyerap 42,5 tenaga kerja.



Ada kesenjangan yang sangat besar antara jumlah skala usaha kecil dibandingkan usaha menengah serta perbedaan yang sangat signifikan dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja.



Selain itu, usaha kecil di Indonesia didominasi oleh kegiatan yang bergerak pada sektor pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan (53,5%), sementara usaha menengah banyak bergerak di sektor perdagangan, hotel dan restoran (53,7%) dan usaha besar di industri pengolahan (35,4%).



Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia kewirausahaan di Indonesia memang tertinggal dibandingkan negara lain yang sudah memasuki abad informasi dan pengetahuan. Dunia kewirausahaan Indonesia masih banyak yang mengandalkan otot dibandingkan otak. Kerja keras dibandingkan kerja cerdas.


Apa yang harus dilakukan?



Dengan melihat profil kewirausahaan di Indonesia tersebut, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan.



Pertama, pengembangan jiwa dan karakter wirausaha sejati. Perlu lebih banyak wirausahawan di Indonesia yang dilahirkan dengan didorong oleh visi dan inovasi dan bukan semata-mata karena keterpaksaan dan hanya menjadikan kegiatan usaha sebagai tempat singgah sementara (sampai mendapatkan pekerjaan).



Hal ini menjadi tugas dari dunia pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, karakter dan ketrampilan kreatif serta sikap mandiri dan pro-aktif harus mewarnai semua kegiatan pembelajaran.



Kedua, pengembangan ketrampilan membesarkan usaha. Kegiatan usaha kecil yang sudah ada harus dibina dan dikembangkan. Jika 50% saja kegiatan usaha kecil di Indonesia berkembang dan membutuhkan tambahan 1 orang tenaga kerja, maka akan tersedia 24,4 juta lapangan kerja baru. Di saat seperti itu, mungkin kita harus mulai mengimpor tenaga kerja asing.



Hal ini dapat diupayakan dengan mengembangkan kerja sama antara pemerintah, dunia usaha dan dunia pendidikan. Ketrampilan mengembangkan usaha tersebut meliputi ketrampilan berinovasi dan manajerial yang bersifat strategis. Oleh karena itu UKM tidak dibesarkan dengan semata-mata suntikan hormon (dana).



Ketiga, arah dan pengembangan keunggulan bersaing bangsa. Negara China bekerja keras mengembangkan infrastruktur fisik untuk meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksinya. Negara India meningkatkan infrastruktur dan brainware teknologi informasi untuk dapat bersaing di dunia IT. Apa yang harus dilakukan Indonesia?



Sudah merupakan hal yang nyata, bahwa interaksi dan hubungan antarnegara saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Prilaku negara sudah menjadi seperti prilaku perusahaan besar yang bersaing satu sama lain. Oleh karena itu agar dapat menjadi bangsa yang unggul dan diperhitungkan, maka Indonesia harus segera menemukan dan mengembangkan keunggulan intinya.

Setelah itu pemerintah harus mengarahkan dunia kewirausahaan untuk bergerak dan menunjang keunggulan bersaing bangsa tersebut. Dengan demikian, maka kita kelak akan melihat negara Indonesia menjadi semacam perusahaan raksasa yang menaungi puluhan juta wirausahawan sejati. (MARGIMAN)

*Penulis adalah Executive Director Ciputra Entrepreneurship

Sabtu, 14 Februari 2009

Peran Kewirausahaan dalam Membangun Budaya Inovatif Generasi Muda


Muncul kecenderungan baru yang pelan tapi pasti, yaitu bergesernya sumber kemakmuran dari natural asset seperti tanah, sumberdaya alam, buruh murah ke manufactured tangible assets yaitu pabrik & peralatannya, dan pengetahuan yang melekat pada manusia yang mengelola usaha tersebut. Untuk mencitptakan intangible assets diperlukan pengetahuan dan informasi.

Pengetahuan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan kemakmuran. Pengetahuan baru tentang cara-cara produksi misalnya akan segera menyebar dan mudah ditiru, yang akhirnya jika tidak di-upgrade akan menjadi kurang bernilai. Pengetahuan yang menghasilkan kemakmuran di era sekarang ini adalah pengetahuan yang yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang menciptakan nilai bagi pelanggannya dan sulit untuk ditiru atau digantikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan knowledge economy berarti mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan.

Kemampuan menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan sangat dipengaruhi oleh derajat kewirausahaan seseorang, karena kewirausahaan adalah suatu proses dinamik penciptaan kemakmuran. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan dan membangun suatu visi dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia melalui tindakan kreatif. Entrepreneur cenderung menggunakan enerjinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan, ketimbang hanya melakukan pengamatan dan analisis. Dengan visinya, entrepreneur itu dengan sadar memperhitungkan risiko – baik secara personal maupun finansial – dan kemudian melakukan apa saja agar bisa mengurangi risiko dan kemungkinan gagal. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk mengindera (sensing) suatu opportunity, ketika yang lain masih melihatnya sebagai chaos, suatu yang kontradiksi, dan membingungkan. Entrepreneur itu memiliki know-how bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.

Pengetahuan yang dimiliki oleh entrepreneur itu bisa dipelajari sebagaimana kita mempelajari pengetahuan lainnya, yang lebih penting adalah menangkap spirit kewirausahaan. Spirit ini yang akan memotivasi seseorang untuk mengembangkan kemampuan entrepreneurialnya.

Dalam kesulitan ekonomi yang kita alami sekarang ini nampak ada isyarat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan pentingya inovasi. Harian Kompas beberapa minggu yang lalu memuat berita bahwa sekitar 600 paten diajukan oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Reportase majalah Asiaweek edisi Oktober 2001 melaporkan bahwa dari segi pendaftaran paten, meski Indonesia hanya menempati urutan nomor dua terbawah, tetapi dengan tertiary enrolment (penduduk yang menamatkan sekolah lanjutan atas) yang mendekati Malaysia (Indonesia 11%, Malaysia 12%) ada harapan bila situasi ekonomi dan politik sudah kondusif terbuka peluang bagi munculnya lapisan entrepreneur yang masif.

Data yang dipaparkan Asiaweek dan reportase Kompas adalah suatu isyarat positif bagi perkembangan UKM, yaitu mereka mulai akrab dengan inovasi, yang merupakan hasil dari learning orientation dan menjadi embrio bagi terbentuknya wiraswasta inovatif. Learning (belajar) merupakan salah satu sumber paling penting bagi siapa saja untuk menciptakan keunggulan bersaing. Di dalam belajar selalu berlangsung suatu dialog yang terus menerus yang memberikan ruang bagi terbentuknya proses kreatif. Proses belajar akan menghasilkan pengetahuan (knowledge) baik yang bersifat tacit maupun explicit.

Penghargaan Paten & Kesejahteraan Penduduk


Measures of Knwoledge Intensity
Country Number US Patents Number Asiaweek 1000 Tertiary Per Capita Population
Awarded (2000) 2000 Enrolment GNP 1999
Per 1000 1997% 1999 $US

Japan 32992 260.05 696 5.5 41 32050 126.6
Hongkong 548 81.79 18 2.69 24 24570 6.7
Singapore 242 60.5 34 8.5 39 24150 4
Australia 859 45.21 70 3.68 80 20950 19
N. Zealand 136 35.79 6 1.58 63 13990 3.8
Taiwan 5806 262.71 37 1.67 68 13235 22.1
South Korea 3472 74.03 59 1.26 68 8490 46.9
Malaysia 47 2.07 11 0.48 12 3390 22.7
Thailand 30 0.5 10 0.17 22 2010 60.2
Philpines 12 0.16 7 0.09 29 1050 74.2
China 163 0.13 25 0.02 6 780 1253.6
Indonesia 14 0.07 6 0.03 11 600 207
Pakistan 5 0.04 1 0.01 na 470 134.8
India 131 0.13 20 0.02 7 440 997.5
Sumber: Asiaweek October 2001

Melihat data yang dipaparkan oleh Asiaweek (Penghargaan Paten & Kesejahteraan Penduduk), kita bisa berkaca tentang kualitas wiraswasta kita dibandingkan dengan negara lain. Untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara Asia Pasifik sudah saatnya masyarakat perguruan tinggi (khususnya pendidikan tinggi teknik) mempunyai komitmen mengajarkan pengetahuan kewirausahaan agar virus entrepreneurship menyebar di kalangan lulusan perguruan tinggi sehingga dimungkinkan munculnya lapisan terpelajar yang mempunyai spirit entreprneurship yang bisa menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungannya.

Perguruan tinggi dengan tradisi ilmiahnya yaitu selalu mengedepankan sikap skeptis terhadap “theory in use” dan selalu berusaha mencari kebaruan atau dengan istilah yang dikenalkan oleh Schumpeter yaitu creative destruction sebenarnya mampu melakukan hal itu. Mengapa perguruan tinggi di Indonesia, terutama di daerah belum mampu menjadi sumber inovasi, belum mampu meningkatkan kualitas SDM melalui pemikiran dan karya? Pendapat saya, sebagai seorang pengusaha, adalah masih rendahnya spirit kewirausahaan.

Saya di sini akan menggunakan pandangan Joseph A. Schumpeter, ekonom asal Austria yang kemudian menetap di Amerika (1883 – 1950) tentang entrepreneur. Ia mengatakan bahwa perilaku dan sifat entrepreneur yang khas adalah kemampuannya, kecerdasannya dan keberaniannya yang ditopang oleh ketetapan hatinya dan keteguhan jiwanya untuk melancarkan usaha yang serba baru dengan melihat pada kemungkinan-kemungkinan potensial di masa depan dan berhasil menjelmakan menjadi kenyataan efektif.

Satu hal dari pandangan Schumpeter yang menggugah adalah penilainnya tentang entrepreneur yang sama sekali berbeda dengan pengusaha (businessman). Entrepreneur memiliki “sikap jeli” terhadap kemungkinan potensial yang terbayang dalam perkembangan masa depan, kemudian mampu merintis dan mengatur inovasi, menempuh pola baru dalam penggunaan sumber dana dan daya produksi dalam suatu kombinasi optimal yang baru pula (neue Kombination).

Penemuan (Invention) yang ada baik di dunia perguruan tinggi atau di laboratorium-laboratorium penelitian milik pemerintah tidak akan ada artinya jika tidak digunakan secara komersil. Di sinilah perlunya komunikasi timbal balik antara perguruan tinggi dengan masyarakat terutama dunia usaha agar mereka mau menggunakan temuan-temuan itu untuk digunakan dalam kegiatan usaha. Dunia usaha dan masyarakat harus diyakinkan bahwa dengan inovasi atau lebih tepat disebut Neue Kombination dapat memperbesar laba, menghemat biaya (cost reducing) atau menciptakan permintaan (demand creating).

Kemitraan antara pendidikan tinggi dengan dunia usaha menjadi prasyarat mutlak untuk merangsang inovasi di kalangan pendidikan tinggi dan para lulusannya. Banyak tugas akhir mahasiswa teknik yang potensial memiliki nilai komersil tetapi hanya tersimpan di perpustakaan saja karena belum tumbuhnya tradisi kerjasama antara pendidikan tinggi dan dunia usaha.

Untuk ke depan sudah saatnya dipikirkan oleh kalangan dunia usaha untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan masyarakat perguruan tinggi dalam kerangka untuk meningkatkan daya saing dan menyebarkan tradisi entrepreneurship di kalangan pendidikan tinggi.

Eksperimen dan Kilas Balik Pengalaman
Setiap kali saya membicarakan kewirausahaan saya selalu teringat suasana semasa kuliah di ITB dan saat mengambil keputusan ketika gelar insinyur sudah berhasil di raih. Saya akui kampus ITB berperan cukup besar dalam menumbuhkan spirit kewirausahaan saya dan sekaligus menjadi laboratorium tempat saya menjajal gagasan-gagasan kewirausahan yang terkadang terkesan “nakal”. Di ITB saya aktif dalam berbagai kegiatan kampus, diantaranya adalah menjadi pengurus koperasi mahasiswa.

Pada umumnya koperasi mahasiswa hanya labelnya saja yang menggunakan mahasiswa. Pengelolaannya kebanyakan orang luar yang bukan mahasiswa atau keluarga pegawai di lingkungan kampus. Otoritas kampus khawatir jika mahasiswa yang mengelola ada kemungkinan gagal. Padahal kegagalan itu sendiri adalah proses belajar yang harus dialami.

Ketika saya bergabung dengan Koperasi Mahasiswa ITB, seluruh pengurusnya adalah mahasiswa. Saya dan kawan-kawan belajar mengembangkan kewirausahaan secara mandiri. Kami memeras otak bagaimana agar Kopma ITB mampu bersaing dengan kegiatan usaha yang sejenis, dan mencari keunggulan yang sulit ditiru. Secara tidak sadar dalam diri saya terbangun suatu sikap ingin melayani siapa saja sebaik mungkin. Kopma ITB berkembang maju dan bahkan menjadi subdealer sepeda motor.

Pelajaran yang paling berharga selama aktif di Kopma adalah kami mempunyai pengetahuan baru tentang membangun networking, menjadi lebih peka dan jeli dalam melihat sesuatu, yakin mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan metode yang berbeda dengan waktu yang lebih singkat dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik, terbiasa berfikir berbeda dari kebanyakan, menyadari akan keterbatasan sehingga secara sadar harus bisa bekerja sama dengan orang lain. Ternyata pengalaman yang saya dapat itu merupakan suatu mekanisme kognitif yang membentuk seseorang menjadi entrepreneur. Ini baru saya ketahui ketahui ketika membaca jurnal kewirausahaan terbitan Amerika.

Ketika saya kuliah di ITB meskipun aktif di berbagai kegiatan, kuliah tidak pernah terabaikan saya pernah mendapat predikat sebagai mahasiswa teladan sehingga mendapat beasiswa khusus (grant) dari Caltex. Saya tidak diikat kewajiban melakukan ikatan dinas. Begitu lulus saya mendapat tawaran bekerja di sejumlah, diantaranya adalah Caltex. Saya berkunjung ke Caltex ketemu kawan-kawan semasa kuliah, mereka menyarankan saya membuka usaha sendiri. “Buat apa kamu bekerja di Caltex. Lebih bagus kamu bikin usaha baru. Lihat Del, kalau kamu yang bikin tangki itu, saya yakin kamu bisa pasok ke Caltex.” Mereka rupanya sudah melihat kemampuan saya berbisnis yang sudah saya lakukan di Kampus ITB.

Pikiran saya tergugah, saat itu juga saya putuskan bekerja untuk diri sendiri. Saya kemudian memanfaatkan networking yang sudah saya rintis sejak di kampus. Kesempatan dan relasi bisnis adalah salah satu dari sekian faktor penting untuk menunjang keberhasilan. Akan menjadi sia-sia jika ada kemampuan, tetapi tidak memiliki relasi bisnis. Saya sampai pada kesimpulan keberhasilan suatu usaha adalah fungsi dari kemampuan, kesempatan, relasi dan sarana.

Saya putuskan memulai bisnis baru dengan kawan-kawan, yaitu Achmad Kalla, Erwin Kurniadi, Imron Zubaidi dan Muhammad Ashari dengan mendirikan Bukaka. Pada awal kami memulai bisnis stamina dan mental kami diuji, proyek tidak mudah kami dapatkan. Bukaka mulai menapaki sukses ketika pemerintah mengeluarkan Kepres Nomor 10 Tahun 1980 yang melarang impor barang industri yang bisa diproduksi di dalam negeri. Mulailah kami membuat asphalt mixing plant dan mesin-mesin untuk pembuatan jalan raya, pompa angguk, dan garbarata dan menempatkan Bukaka sebagai perusahaan terkemuka di bidang infrastruktur.

Kami dan kawan-kawan saat memulai usaha hanya berbekal pengetahuan enjinering yang diperoleh di kampus, tetapi kami mempunyai rasa percaya diri, jika orang lain bisa melakukan tentu kita juga bisa. Kepres Nomor 10 Tahun 1980yang mengantarkan kami mendapat proyek dari pemerintah untuk membuat mesin-mesin pembuat jalan raya (padahal kami belum punya pengalaman membuatnya) mendorong kami menjadi kreatif dan inovatif. Ketika proyek sudah ditangan, kami kesulitan untuk mendapatkan mesin-mesin yang akan kami jadikan model untuk dibuat, perusahaan asing peserta tender yang kalah tidak sudi menjual produknya ke Bukaka. Ini adalah proyek kemitraan by accident kami merasa diback-up oleh pemerintah sehingga dalam menangani proyek yang sama sekali baru, kami tetap percaya diri.

Kami diboikot tetapi sekali lagi melalui relasi didapat juga barang yang kami butuhkan. Mesin-mesin itu kami bongkar dan kami analisa kelemahannya, kemudian kami membuat mesin baru berdasarkan contekan tetapi dengan menghilangkan kelemahannya. Ini yang dikenal dengan reverse engineering yaitu menyontek dengan kreatif sehingga hasil contekan menjadi lebih baik.

Pengalaman lain yang cukup mengesankan adalah ketika saya beraudiensi dengan Rektor Universitas Indonesia (UI), ketika itu masih dijabat Prof. Dr. Mahar Mardjono. Saya mengundang sejumlah mahasiswa UI untuk bekerja magang di tempat saya. Lalu Prof. Mahar memanggil lima mahasiswa. “Kamu mau bekerja magang di tempat Bung Fadel?” begitu kata Prof. Mahar kepada mahasiswanya.

Saya melihat raut wajah mahasiswa yang diundang untuk bekerja di bengkel saya itu tidak menunjukkan antusiasme. Mereka malah menunjukkan sikap kurang percaya diri. Mereka memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tidak tahu bagaimana menerapkannya. Melihat pengalaman itu, maka semakin terobsesi tekad saya untuk menyebarkan virus entrepreneurship di kalangan mahasiswa, merekalah kelak yang akan mengisi lapisan entrepreneur yang kini jumlanya sangat tipis. Obsesi saya bertambah bulat setelah melihat fakta bahwa hampir sekitar 35% luluan perguruan tinggi tidak terserap di lapangan kerja, mereka harus diubah orientasinya agar menjadi pencipta kerja.

Saya melakukan eksperimen dengan anak-anak ITB yang tergabung ke dalam CSED (Center for Studies Entrepreneur Development). Anak-anak ITB itu saya bawa ke networking business kebetulan saya juga sebagai ketua Kadin, ternyata setelah mereka mempunyai relasi mereka mampu membangun usahanya sendiri. Optima Group (suatu kelompok bisnis dari anak-anak ITB yang bergerak di teknologi informasi) adalah berasal dari CSED, belakangan ini saya mendapat kabar proyek-proyek mereka semakin berkembang.

Eksperimen saya yang lain adalah menggunakan bukan anak teknik, tetapi anak ekonomi. Saya mengajar seminar kewirausahaan di FE Universitas Trisakti. Salah satu syarat untuk lulus mata kuliah seminar kewirausahaan adalah membuat business plan. Business plan tersebut diuji layaknya business plan yang diajukan oleh perusahaan. Saya melihat daya inovasi dan kreativitas mereka sangat tinggi, beberapa business plan berhasil diimplementasikan menjadi kegiatan usaha yang sekarang berkembang dan cukup maju, itu karena ada kemitraan. Mereka dijadikan mitra oleh beberapa perusahaan yang salah satunya adalah milik orang tua mahasiswa FE Universitas Trisakti.

Untuk ke depan lulusan perguruan tinggi teknik seyogyanya memilih jalan menjadi wirausaha. Ini sejalan dengan tren jaman. Ernest & Young sebuah perusahaan konsultan internasional dalam penelitiannya pada tahun 1998 tentang visi entrepreneuralism terhadap 500 pengusaha terkemuka di Amerika diperoleh temuan yang menarik.

Entrepreneuralism akan menjadi “defining trend of the business” pada abad 21.
Akan semakin banyak orang yang memasuki kegiatan kewirausahaan.
Entrepreneuralism akan meningkat di seantero penjuru dunia, termasuk di negara-negara yang tidak masuk sebagai negara industri seperti di Afrika dan Timur Tengah.
Peluang kewirausahaan yang menjanjikan pada abad ini adalah sektor teknologi / internet, kedokteran, food service / hospitality, layanan informasi / manajemen informasi.
Lingkungan ekonomi entrepreneurial ditandai oleh “penekanan yang lebih besar pada “personal fulfillment”, “inovasi yang meningkat”, dan “creative work arrangement”.

Tanda-tanda jaman ini yang harus ditangkap oleh masyarakat kampus, terutama mahasiswa. Pada abad ini entrepreneurship memberikan unlimited opportunity terutama kepada mereka yang mampu menjalin creative work arrangement.

Entrepreneurship: Sesuatu Yang bisa dipelajari
Keengganan lulusan perguruan tinggi memilih menjadi entrepreneur salah satunya karena terjebak dalam mitos. Mahasiswa teknik hanya dibekali dengan kemampuan kognisi, tetapi tidak dibangkitkan daya afeksinya sehingga tidak terbangun orientasi sikap yang menjurus ke opportunity oriented. Lulusan pendidikan teknik lebih banyak ingin bekerja pada perusahaan ketimbang membangun usaha sendiri. Inilah tantangan ke depan yang harus dihadapi. Para lulusan perguruan tinggi sampai saat ini masih gamang memasuki dunia kewirausahaan karena adanya mitos yang seolah tidak terbantahkan. Sedikitnya ada 10 mitos yang membelenggu pikiran para pemula yang akan memasuki dunia kewirausahaan.

Mitos 1: Entrepreneur adalah pelaku, bukan pemikir
Dalam batas-batas tertentu entrepreneur memiliki kecenderungan berorientasi kepada tindakan, tetapi sebenarnya mereka juga pemikir. Mereka adalah orang yang berfikir sistematis yang merencanakan langkahnya dengan hati-hati. Entrepreneur pemikir dengan entrepreneur pelaksana adalah sama-sama melaksanakan kegiatan entrepreneurship.

Mitos 2: Entrepreneur itu dilahirkan, bukan diciptakan
Muncul anggapan bahwa tabiat dan sifat entrepreneur tidak dapat diajarkan atau dipelajari, mereka memiliki bakat pembawaan lahir. Bakat tersebut diantaranya adalah mencakup ke-agresif-an, inisiatif, dorongan, kemauan untuk mengambil risiko, kemampuan analitik, dan kemampuan human relation. Sekarang diakui bahwa entrepreneurship adalah suatu disiplin ilmu yang dapat membantu untuk mematahkan mitos. Seperti halnya ilmu-ilmu lain entrepreneurship mempunyai model, proses, dan studi kasus yang memungkinkan untuk mengkaji suatu topik dan menguraikan karakteristik obyek yang dikajinya.

Mitos 3: Entrepreneur selalu merupakan penemu (Inventors)
Pemikiran yang menganggap entrepreneur adalah penemu merupakan akibat dari kurang dipahaminya visi tersembunyi entrepreneur. Memang dalam keadaan tertentu penemu juga sekaligus menjadi entrepreneur. Di sini ada sejumlah entrepreneur yang melakukan berbagai jenis kegiatan inovatif tetapi bukan penemu. Contoh Ray Kroc, tidak menemukan franchise fast-food, tapi ide inovatifnya menjadikan McDonald merupakan perusahaan fast-food terbesar di dunia. Pemahaman terbaru tentang entrepreneurship cakupannya bukan sekedar pada invention. Tapi mencakup pemahaman yang lengkap dari perilaku inovatif apapun bentuknya.

Mitos 4: Entrepreneur adalah orang yang canggung baik di dunia akademis atau di masyarakat.
Ada kepercayaan bahwa entrepreneur secara akademis dan sosial merupakan orang yang gagal. Mereka berhasil menjalankan usahanya karena drop out dari sekolah atau dipecat dari tempat kerja. Ini kemudian digunakan untuk memahami profil entrepreneur tipikal. Secara historis sebenarnya pendidikan dan organisasi sosial tidak mengakui entrepreneur. Entrepreneur disingkirkan dari dunia perusahaan raksasa karena dianggap orang yang canggung. Dalam pendidikan bisnis, untuk contoh tujuan utamanya adalah memahami aktivitas perusahaan bukan pada siapa yang berada di balik perusahaan. Sekarang entrepreneur dipandang sebagai hero – baik secara sosial, ekonomi, dan akademik. Dia bukan lagi si canggung, entrepreneur sekarang dipandang sebagai profesional.

Mitos 5: Entrepreneur harus sesuai dengan profil
Banyak buku dan artikel menyajikan cheklist ciri-ciri entrepreneur sukses. Daftar tersebut baik yang divalidasi atau tidak didasarkan pada studi kasus dan temuan riset atas orang-orang yang berorientasi pada pencapaian. Sekarang sangat susah untuk melakukan kompilasi hingga terwujud standar profil entrepreneurial.

Mitos 6: Untuk menjadi entrepreneur anda perlu memiliki uang
Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung keuangan yang memadai. Sekarang uang bukan satu-satunya benteng untuk menghadapi kegagalan bisnis. Kegagalan bisnis yang berkaitan dengan tidak adanya dukungan finansial yang memadai sering menjadi indikator adanya problem lain dalam usaha tersebut seperti: ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk; perencanaan yang jelek dan sejenisnya. Banyak entrepreneur sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya, uang adalah sumber daya atau sarana yang digunakan untuk menjalankan usaha tapi tidak pernah menjadi tujuan akhir dari usaha itu sendiri.

Mitos 7: Anda perlu nasib baik untuk menjadi entrepreneur
Berada pada “tempat yang benar dan waktu yang tepat” selalu menjadi suatu keunggulan. Tapi yang lebih tepat adalah “keberuntungan muncul ketika kemampuan dan persiapan bertemu dengan kesempatan”. Entrepreneur adalah orang melakukan serangkaian persiapan agar berhasil menggapai kesempatan. Ketika kesempatan itu muncul dan dapat diraih sering dianggap sebagai suatu keberuntungan. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang selalu melakukan persiapan untuk menghadapi berbagai situasi dan mengubahnya menjadi sukses. Apa yang nampak sebagai suatu keberuntungan sebenarnya adalah buah dari melakukan perencanaan, menetapkan tujuan dan keinginan, mengakumulasi pengetahuan, dan melakukan inovasi. Intinya seorang entrepreneur adalah yang terus menerus waspada dan belajar untuk merespon lingkungan agar sesuai dnegan keinginannya sendiri vis a vis keinginan masyarakat.

Mitos 8: Entrepreneur mengabaikan kesenangan
Mitos mengatakan perencanaan dan evaluasi yang njelimet cenderung menimbulkan masalah yang permanen, analisis yang berlebihan menyebabkan paralysis, tapi dalam pasar yang kompetitif seperti sekarang ini dibutuhkan perencanaan dan persiapan yang cermat. Mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan suatu usaha, menetapkan dengan jelas suatu jadwal atau skedul untuk menghadapi perubahan membantu menangani masalah, dan meminimalisasikan masalah dapat dilakukan melalui perumusan strategi yang hati-hati – itu semua merupakan faktor kunci keberhasilan entrepreneurship. Dengan demikian perencanaan yang cermat – bukan mengabaikan perencanaan – adalah ciri dari entrepreneur yang sempurna.

Mitos 9: Entrepreneur mencari sukses tapi pengalaman menunjukkan tingginya tingkat kegagalan.
Adalah benar bahwa banylak entrepreneur menghadapi sejumlah kegagalan sebelum mereka berhasil. Mereka mengikuti kata bijak “Jika pertama anda belum berhasil, coba, coba lagi”. Sebenarnya kegagalan dapat memberikan banyak pelajaran, siapa yang mau belajar dari kegagalan sering mendapatkan sukses. Ini nampak jelas terlihat dalam prinsip koridor, yang menyatakan bahwa setiap langkah memiliki risiko, tapi sekaligus memunculkan peluang yang tidak diduga sebelumnya. Perusahaan 3M menemukan “Pos-it” kertas kecil yang dilapisi lem dengan tidak sengaja karena memanfaatkan lem yang tidak memenuhi kualifikasi produk. Dari pada dibuang sayang lebih baik dibuat post-it, akhirnya produk ini menghasilkan jutaan dolar dan dikenal di seluruh dunia. Sekarang catatan statistik tentang kegagalan entrepreneur itu menyesatkan. Suatu riset yang dilakukan oleh Bruce A. Kirchoff, melaporkan bahwa dari pelacakan 814.000 usaha yang mulai start pada 1977 menemukan bahwa 50% tetap hidup dan dikelola oleh pemilik awal atau pemilik baru. 28% ditutup secara suka rela, dan hanya 18% yang benar-benar gagal.

Mitos 10: Entrepreneur adalah risk taker yang ekstrim
Dalam masyarakat berkembang pandangan bahwa entrepreneur adalah orang yang suka berjudi dengan kemungkinan yang belum jelas, faktanya entrepreneur umumnya selalu memperhitungkan risiko. Semua entrepreneur yang berhasil adalah adalah mereka yang bekerja keras melalui persiapan dan perencanaan ketat untuk meminimalisasikan risiko untuk dapat mengendalikan lebih baik agar visinya tercapai.

Untuk mendobrak mitos, calon entrepreneur harus mempersiapkan pendidikan dengan baik. Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting bagi entrepreneur. Ia berperan penting dalam membantu entrepreneur menghadapi masalah yang harus diselesaikannya. Sejarah memang telah mencatat ada sejumlah entrepreneur berasal dari siswa drop out seperti William Durant, Henry Ford, Andrew Carnegie, Thomas Alva Edison dan William Lear. Secara formal pendidikan mereka tidak begitu bagus, tetapi mereka melakukan proses pembelajaran sendiri, mereka menyerap explicit knowledge melalui learning by doing sehingga mereka berhasil menyusun skema berfikir untuk dijadikan panduan menghadapi persoalan.

Pada waktu lalu berkembang pemikiran yang membedakan secara dikotomis antara entrepreneur dan bukan entrepreneur. Entrepreneur dicirikan dengan orang yang kreatif – imajinatif, berfikir bebas sedangkan yang bukan entrepreneur biasanya lebih mengandalkan logika semata, miopik dan kaku.

Sekarang ini pendikotomian tersebut tidak berlaku. Menurut penelitian David Hills dari Center for Creative Leadership, USA diperoleh temuan bahwa setiap orang itu mampu untuk menjadi kreatif. Kreativitas itu bukan bakat tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Hambatan terjadinya kreativitas diantaranya adalah pola berfikir yang tradisional. Orang tidak pernah dipicu innate creativity-nya. Kreativitas dapat diasah dengan memfungsikan peran otak kanan antara lain dengan:

Selalu mengembangkan pertanyaan, “Apakah ini merupakan satu-satunya cara terbaik, tidak adakah cara lain?”. Ini adalah suatu bentuk berfikir divergen.
Melawan kebiasaan, rutinitas dan tradisi atau sesuatu yang telah mapan.
Selalu melakukan refleksi, berfikir imajinatif.
Play mental games, yaitu mencoba melihat persoalan dari perspektif yang berbeda seperti melalui analogi atau metafora.
Terbuka untuk mendapatkan lebih dari satu jawaban yang benar
Menautkan gagasan yang nampaknya tidak berhubungan dengan persoaan yang dihadapi untuk membangkitkan solusi yang inovatif.
Mengembangkan “helicopter skill” yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu persoalan dari perspektif yang lebih luas dan kemudian menukik kembali pada fokus persoalan dan mencari solusinya dengan berbagai alternatif solusi.

Harus diakui bahwa mengembangkan kreativitas itu bukan pekerjaan mudah. Hambatan eksternal seperti tekanan waktu, tidak ada dukungan, kebijakan yang rigid adalah salah satu bentuk hambatan yang dihadapi oleh individu dalam mengembangkan kreativitas. Namun hambatan yang paling sulit untuk diatasi adalah hambatan yang berasal dari diri sendiri, yaitu berupa gembok mental yang menyebabkan kita tidak bisa berfikir merdeka. Sejumlah gembok mental yang kerap membatasi kreativitas, yakni:

Terfokus pada upaya mencari “satu jawaban yang benar”. Padahal setiap persoalan itu memiliki ambiguitas. Satu pertanyaan memiliki banyak jawaban yang benar.
Terlalu mengandalkan pada logika. Logika memang bagian penting dari proses kreatif, khususnya ketika mengevaluasi dan mengimplementasikan ide. Namun demikian pada fase proses imajinatif, berfikir logis sering menggembok kreativitas. Intuisi menjadi lebih penting, karena ia merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang kaya dengan perspektif.
Mengikuti aturan dengan membuta. Kita sering tidak cukup berani untuk keluar dari aturan. Seringkali kreativitas itu muncul karena kemampuan kita untuk melanggar aturan yang sudah ada sehingga kita bisa melihat cara baru untuk melakukan sesuatu. Contoh yang sangat bagus adalah “Shinkasen Thinking”. Jepang tidak akan mampu menciptakan kereta peluru berkecepatan tinggi bila terpaku pada rule perkeretaapian yang sudah ada.
Selalu berorientasi praktis. Membayangkan jawaban yang terkadang tidak masuk akal dari suatu pertanyaan yang logis sering memberikan inspirasi terbentuknya ide kreatif.
Menjadi terlalu spesialis. Orang yang terlalu spesialis cenderung kurang tertarik pada sesuatu yang berada di luar bidangnya. Padahal pemikir kreatif cenderung mencari ide di luar wilayah spesialisasinya.
Menghindari ambiguitas. Ambiguitas dapat menjadi stimulus yang kuat bagi kreativitas. Ambiguitas mendorong kita untuk memikirkan sesuatu yang berbeda. Ada contoh menarik, Jeffrey Erexson seorang entrepreneur mengajukan pertanyaan, “apa itu kulit?” hampir semua orang mengatakan bahwa kulit adalah jangat binatang mamalia. Erexson kemudian bertanya lagi, “mengapa bukan jangat dari ikan?” Dengan menghargai ambigiuitas ia akhirnya menemukan peluang usaha dengan mendirikan Ocean Leather Inc. Bahkan baru-baru ini anak-anak Yogya malah lebih hebat lagi, yaitu menyajikan tas dan sepatu dari kulit kaki ayam.Inilah pentingnya ambiguitas.
Takut kelihatan bodoh. Berfikir kreatif itu tidak memberi tempat bagi konformitas. Ide-ide baru jarang lahir dari lingkungan yang konformis.
Takut berbuat kesalahan. Orang kreatif dalam mencoba gagasan baru sering menghadapi kegagalan. Namun mereka tidak melihat kegagalan sebagai akhir dari segalanya. Kegagalan adalah merupakan biaya belajar untuk sukses.
Cepat mengaku dirinya tidak kreatif. Banyak orang merasa dirinya tidak kreatif, karena mereka menganggap kreatif itu hanya milik segelintir orang.

Dirilis 30 Oktober 2001

By: Fadel Muhammad

Selasa, 10 Februari 2009

Change Is No Child's Play


No matter how big the treat is, everyone wants to see what's there on his plate.

"When you are through changing, you are through." ~Bruce Barton
Time changes and it takes everything under its wings. It imbibes the essence of change in the people, their aspirations, their goals, market needs, market indicators, and all other possible determinant variables. When constitution changes, jury's verdict shifts, and then the lawyer also has to be selective about his arguments. That is how the decision makers also look at the strategic role that they have in an organisation. Change is absolute and constant; moreover change is a universal truth, universally sustained and universally applicable. Every organisation should understand and use it for the betterment of its own. The role of the decision makers is chronically absolute in respect to the change-culture building in that organisation. Just making a pro-change mind set is not enough.

The role of the change agents necessitates an exquisite competence on the diagnosis; they should go for the GAP analysis, stating clearly the present stand vis-à-vis the desired or aspired status, and thereafter strategies should be developed furnishing the most effective and efficient way to bridge the gap. The strategy building part must adhere to the prevailing processes, structures, systems, norms, people's issues and leadership style in the light of their relevance (or irrelevance) to the aspired future state. We must look at the place(s) where we should create the change to bring about the best favourable impact. But before actually going ahead with the creation of change, prerequisite is to create the right atmosphere for the change, the atmosphere where changes are positively viewed, rationally appreciated and intuitively owned by the people. Along with full top management support, one needs to access the probable acceptance level of the initiatives because it might happen that an initiative, rightly planned and fully supported by the top management, might fail due to lack of its ability to gain the buying-in conviction at the grass root level.

This across-organisational-pro-change-consensus is critical to be ensured as enthusiastic, involved and ownership-driven participation is absolutely necessary for any change initiative to taste the kiss of success. They should be thoroughly convinced about the final take away(s) that the initiatives ensure for them; otherwise, it will be always-pushed-but-never-pulled force. In any organisation, everybody looks at his plate and tries to determine what he gets out of the treat; the treat might be for a great cause, but if it fails to address any of the unmet desires of people, people suffer from the lack of intuitional drive to go for it. So the task of the top management is to build the common consensus among people about their tangible gains that the initiatives will guarantee at the end of the process, even, in some cases, in between the process. These tangibles might range from A to Z with all possible sorts of combinations and permutations, starting right from money, through career growth, knowledge enhancement, to improved working environment, team spirit and so on. When that individually collective consensus is gained, that is when you can get owners of your change process from people who will actually be enthusiastic to roll their sleeves up and work to make the change work.

To convince them about their gains out of the change initiatives, options are plenty and their success lies in the right assessment of nature of organisation, need of the hour, nature of the change, that of leaders, initiators, implementers, timing and mode of the implementation, communication of the implementation, communication of the post-implementation results etc., because all these closely shape people's perception of the change initiatives and their responding behaviour up on the same. That is why it should be entirely an action-research way of approach to the process.

For example, an organisation thought of changing the entire recruitment process and gave it a very modern shape. With the previous recruitment model, the organisation experienced staggeringly huge backlogs of manpower, even the general awareness of the HR department on that issue was quite vague and prejudice driven. People had a misconception that our compensation pattern and availability of right talents were miserably unfavourable. But a close diagnosis of the system brought the bug out which proved that it was the recruitment process which was bottleneck and worsening the sad talent-starvation of the organisation. The altered recruitment process brought skepticism in some people's minds, but when the outstanding initial result (which was a great success), was communicated to them, they also felt the actuality and indispensability of the change and happily started owning the new process. The recruitment process was closely analysed and necessary changes in almost all the required spheres like, content and presentation of the advertisement, sourcing sources, duration between short-listing and interview calls, interviewing frequency, evaluators' configuration, mode of interview, kind of treatment provided and handling of job aspiring candidates, criterion of evaluation, job requirement analysis, closer, offer letter specifications, etc were brought. When there were positive results in the new process and when people were rightly communicated about the improved results, they started having faith on the new process, came forward to get involved and own it.

The utmost prerequisite of any developmental initiative to get success is to gain the absolute faith of the top management, it should believe in the necessity, importance and value of the initiative. They, while doing the prioritisation, should always value the long term importance of an initiative over the short term cost it incurs, and should have strong faith on it.

The management should ensure an environment where change does not shock people, it becomes a habit. To do so, the culture should be empowered with flexibility and innovation. Flexibility of mind, a core value for many of today's organisations, generates the agile urge in people's minds to search for the new effective ways of doing things.

If this is a kind of culture that any organisation is eyeing at, then isolation is the sure-shot of death for that process. We should always think strategically, and not mere periodically. Today, when we are in a cost-competitive environment, we should go deep into even any one single activity to evaluate its contribution to the bottom line of the overall organisation in a long run. Now organisations are left with very few options to create differential advantage over others as technology, product, services, process, system, etc. everything can be copied (or inspired on); but what can not be copied is people, people competence is what defines and differentiates the organisations. There has to be a direct and specific correlation between all the initiatives to gain the maximum out of this advantage. As all the initiatives touch one common factor, people, we should bring in proper aligning of all the decisions taken to serve both the business face and human face of the organisation to compete, succeed, sustain and lead for a long race (correlated relay-race).



By - Aniruddh Banerjee

Minggu, 01 Februari 2009

HOW TO USE RECESSION TO BEAT THE PANTS OFF YOUR COMPETITORS

If you want to learn the tricks of the trade in recession, the first rule of the game is, understand the economic difference between a recession and a depression. They say a recession is when your neighbour loses his job. And a depression is when you lose yours :-) Actually, the same rule applies for companies too! Till the time your competitors are getting rogered, it’s ‘fair play’; the moment the downfall hits you, it’s ‘George Bush must go’! But seriously, the National Bureau of Economic Research defines a recession quite succinctly as the time when business activity (a conglomeration of factors like employment, industrial production, real income and wholesale retail sales) starts to significantly and regularly fall! Generally, if the fall is more than 10%, economists term the extreme recession as depression! At a time when the IMF has forecast that the total hit due to the subprime crisis could well touch the gut wrenching mark of $1 trillion, it’s quite imperative that corporations globally develop strategies not just to survive, but to lead the market and to beat competition!

So what do the world’s most excellent CEOs do to tackle recession? The first question is, can you forecast recession itself? Nobel laureate and top-notch economist Paul Samuelson had claimed, “Economists have correctly predicted nine of the last five recessions.” In other words, it’s perhaps better to learn what to do when recession hits, rather than waiting in fearful anticipation year after year for recession to hit. The hilariously famous presenter Jon Stewart had side-splittingly commented once, “Bush advisers have long been worried that a lagging economy could hamper the Republican Party’s re-election chances. They hope that the Cabinet shake-up will provide a needed jolt. If that doesn’t work, North Korea has to go!” Tackling recession doesn’t really require literally ‘bombastic’ strategies (as the ones Bush uses regularly, whether in Iraq, or now in Iran) but intelligent and simple tactics!

It was just a few months ago that I met the hallowed Ram Charan (Fortune considers him one of their favourite management gurus), over lunch. And it was only two months ago that he wrote the classic ‘Investor’s Special for the Recession Economy’ in Fortune, where he gives four simple and broad principles for CEOs to crack the recession conundrum, which are: (1) Keep Building: “Do not consider product development, innovation, and brand building optional. Sacrificing your future for a slightly more comfortable present is not worth it.” (2) Communicate Intensively: “It’s counterintuitive but true that when the economy slows down, the pace of decision-making has to speed up. The companies that are readiest to act on solid information are primed to shoot ahead of the business cycle.” (3) Evaluate Your Customers: “In good times, companies manage the P&L; in bad times, cash and receivables matter more. Therefore, you need to identify your higher-risk, cash-poor customers. You could decide to simply not supply them anymore.” (4) Just Say No To Across-The-Board Cuts: “By all means cut costs if it makes sense to do so, but make sure there is purpose in how you do it.”

Jay Leno, the king of standup acts, gave a classic perspective of the US economy in one of his shows: “Some good news for the economy. President Bush went on a month-long vacation.” Companies, like I mentioned before, wouldn’t necessarily find the blame game as easy as Jay wishes it to be. Harvard Business School, in its most recent April 2008 posting, gives a tempered, but well researched, response with its paper, ‘4 Steps to Growth During a Recession’. First, “Invest heavily in research and development” – Your competitors may in general cut R&D investments; ergo, your investment increase would yield a “strong product advantage” in the future. Steve Jobs quoted a few days back, “In the last recession, we were going to up our R&D budget so that we would be ahead of our competitors when the downturn was over… And it worked! That’s exactly what we’ll do this time!” Second, “Spend some time learning about the customers of your weakest competitors” – Instead of focusing on bagging your strongest competitors’ largest clients, choose these times to add attractive customers of your weakest competitors, who would not have the wherewithal to withstand your attack. Third, “Identify your most critical suppliers and distributors” – Find out ways you could help these suppliers and distributors. HBS quotes, “Even the smallest gesture can sometimes build an enduring loyalty that will pay off for years to come.”

Prime time TV host Craig Kilborn commented recently, “President Bush’s economic plan will create 2.5 million new jobs. The bad news is, they are all for Iraqi soldiers!” After you’ve recovered from your sarcastic chuckles on this statement, is the fourth, and I think the most important of HBS’ learning philosophies, “Think carefully about your talent needs” – When weaker competitors try to survive, many excellent employees of these companies would find themselves without jobs. Recession is the best time to grab on to these world-class employees and give them jobs and responsibilities that they’ll cherish for a long time with unwavering loyalty!
The most distinguished Professor John Quelch, who is also the Senior Associate Dean at HBS, added his expert views for the marketing heads in his terrific treatise, ‘Marketing Your Way Through Recession’, which came out just around a month back. Some of his key recession mantras for the marketing team are: (a) Research the customer well before deciding on pricing tactics. Price elasticities might not change as dramatically as you might expect. (b) Maintain marketing spending. Recession is surely not the period to cut advertising. Recession creates, as Quelch says, “uncertain customers, who need the reassurance of known brands,” and thus ensure customer loyalty for years. (c) Adjust pricing tactics. In other words, rather than cutting the price of your product (which will immediately send a wrong signal about quality), intelligently play around with newer promotional schemes, give credit to the A-category customers, play around with the quantity of your product in, say, every pack (price it the same, but start giving a non-noticeable less, for example). (d) Ensure employees (and customers) believe in the core values of your oganisation and believe that your organisation will get through tough times! For that, the CEO himself must “spend more time with customers, and employees.”

My favourite David Letterman’s classic and ripping statement stays with me forever, “Al Gore says President Bush’s economic plan has zero chance of working. Now, this raises on important question: Bush has an economic plan?!??!” Seriously, look at yourself and ask, do you as a CEO have a plan in place if recession hits you?

Chris Zook and Darrel Rigby, noted consultants of the globally renowned consulting firm, Bain & Company, a few years back had warned through their path breaking paper (Strategy For The Recession) that CEOs globally today don’t have a ghost of an idea of what their Plan B would be if recession were to hit their economy/company. Think about it again yourself. What is the reason that you don’t currently have a Plan B if the economy crashes? Zook and Rigby recommend that as a CEO, you should most necessarily “build strategic contingency planning into your culture,” even if the economy looks really rosy currently. A fact supported fanatically by McKinsey & Co in their quite readable paper that came out in Spring 2007, Preparing For The Next Downturn.

There was once a millionaire CEO who, while on a lone yachting expedition across the Atlantic, got his yacht smashed up in a thunderstorm, floated for a fortnight living on molasses, till one day, half dead already, he floats ashore on a completely isolated island in the middle of nowhere, when he sees an amazingly seductive super-model of a woman, wearing palm leaves, walk over to him. She smiles at him, tells him how she also is a shipwreck living alone on the island. She then guides him to her awesome tree home, gives him delicious water, vegetarian food and fruits to eat, new clothes made out of super-fashionable leaves, provides him a top quality razor made out of animal bone to shave his overgrown beard, shows him her utopian teakwood bathroom, which even has a shower for him made out of bamboo sticks with coconut water pouring out! The CEO’s over the moon! Freshened up, he comes out of the bathroom to see her lying down on her super sized banyan bed, dressed in a very tasteful sarong, when she whispers, “Guess what more I can provide to you!” He thinks for a moment, and then his eyes light up like crazy, and he screams in pleasure, “Don’t tell me you have email too!!!”

Dear CEOs, the final learning is, in a recession, in your attempts to read too much in market dynamics, don’t miss the obvious!

By: A Sandeep

Kamis, 30 Oktober 2008

Bailout yang Merisaukan

Kontribusi oleh Joseph E. Stiglitz

Tidak perlu seorang jenius untuk mengatakan bahwa sistem keuangan Amerika Serikat--sesungguhnya sistem
keuangan global itu sendiri--sedang mengalami kesulitan. Masalah yang dihadapi ekonomi dan sistem keuangan AS
sudah tampak selama bertahun-tahun. Itu rupanya tidak membuat para pemimpin negeri itu jera untuk meminta lagi
nasihat kepada orang-orang yang sama yang telah berperan dalam menciptakan kemelut itu, yang tidak melihat
persoalannya sampai mereka membawa kita ke tepi jurang Depresi Besar lagi, dan yang telah berputar-putar dari satu
bailout ke bailout lainnya untuk menyelamatkan ekonomi Amerika.
Sementara pasar global anjlok, rencana bailout itu bakal diuji lagi nanti dalam pemungutan suara di Kongres. Kongres
mungkin bisa menyelamatkan Wall Street, tapi bagaimana dengan upaya menyelamatkan ekonomi Amerika?
Bagaimana dengan para pembayar pajak yang sudah menderita akibat defisit yang belum pernah separah sekarang ini,
yang harus menanggung biaya peremajaan infrastruktur dan ongkos dua perang yang sedang berlangsung saat ini?
Dalam keadaan demikian, mampukah bailout apa pun berhasil menyelamatkan ekonomi Amerika?
Yang pasti, rencana bailout yang ditolak DPR itu sebenarnya jauh lebih baik daripada rencana yang semula diusulkan
pemerintahan Bush. Namun, pendekatan dasar bailout itu tetap cacat secara kritis. Pertama, ia bergantung--sekali lagi--
pada keekonomian trickle-down: bagaimanapun, uang yang dikucurkan ke Wall Street katanya akan menetes ke Main
Street, menolong masyarakat awam pekerja dan pemilik rumah. Keekonomian trickle-down boleh dikatakan tidak pernah
berhasil, apa lagi dalam keadaan seperti sekarang.
Lagi pula, rencana bailout itu diajukan dengan asumsi bahwa masalah mendasarnya adalah soal keyakinan dan
kepercayaan. Jelas, ini merupakan bagian dari masalah, tapi persoalan mendasarnya adalah bahwa pasar keuangan
telah melakukan pinjaman yang terbukti macet. Terjadi gelembung kredit perumahan, sementara pinjaman diberikan
berdasarkan harga yang membengkak.
Gelembung itu sudah meletus. Harga rumah mungkin akan makin anjlok, karena itu akan terjadi lebih banyak lagi rumah
yang disita, dan apa pun yang dilakukan untuk menggairahkan pasar tidak akan mengubah keadaan. Kredit macet, pada
gilirannya, telah menimbulkan bolong besar dalam neraca banyak bank yang harus ditutup. Setiap bailout oleh
pemerintah yang memberikan nilai wajar bagi aset-aset ini tidak bakal mampu berbuat apa-apa untuk menutup lubang
itu. Sebaliknya, bailout bagaikan memberikan transfusi darah yang melimpah kepada seorang pasien yang menderita
perdarahan internal yang parah.
Sekalipun rencana bailout dapat dilaksanakan dengan segera, tetap bakal terjadi kontraksi kredit. Ekonomi AS telah
bertahan berkat booming konsumsi yang dibiayai oleh pinjaman yang berlebihan, dan semua ini akan dikurangi. Negaranegara
bagian di Amerika Serikat bakal mengurangi belanjanya. Neraca rumah tangga Amerika akan terus melemah.
Suatu perlambatan ekonomi bakal memperburuk semua persoalan keuangan yang dihadapinya.
Kita sebenarnya bisa berbuat lebih banyak dengan dana yang lebih sedikit. Bolong dalam neraca lembaga-lembaga
keuangan harus ditutup secara transparan. Negara-negara Skandinavia telah menunjukkan bagaimana caranya dua
dekade yang lalu. Cara lainnya ditunjukkan Warren Buffet ketika ia memberikan ekuitas kepada Goldman Sachs.
Dengan mengeluarkan saham preferensi yang disertai warrant (opsi) kita bisa mengurangi risiko downside publik dan
menjamin mereka ikut serta dalam upside potential yang ada.
Pendekatan semacam ini bukan saja telah terbukti, tapi juga memberikan insentif dan dana yang diperlukan untuk
melanjutkan pinjaman. Ini menghindarkan kerja sia-sia mereka yang mencoba menilai jutaan hipotek yang rumit serta
produk keuangan yang bahkan lebih kompleks lagi yang menyertainya. Pendekatan semacam ini menangani apa yang
disebut sebagai masalah lemons--pemerintah terjerat oleh aset yang paling buruk atau paling overpriced, dan ini bisa
dilakukan jauh lebih cepat.
Pada saat yang sama, beberapa langkah dapat diambil untuk mengurangi penyitaan rumah. Pertama, rumah dapat
dibuat lebih terjangkau oleh masyarakat miskin dan golongan berpenghasilan menengah dengan mengubah mortgage
deduction menjadi tax credit yang dapat diuangkan. Pemerintah secara efektif menanggung 50 persen dari bunga
hipotek dan pajak real estate untuk golongan masyarakat berpenghasilan tinggi, tapi tidak berbuat apa-apa untuk
masyarakat miskin. Kedua, diperlukan, bankruptcy reform agar pemilik rumah dapat write down nilai rumahnya dan tetap
tinggal di rumah itu. Ketiga, pemerintah bisa menanggung sebagian dari biaya hipotek dengan memanfaatkan biaya
pinjamannya yang rendah.
Bedanya, pendekatan yang dilakukan Menteri Keuangan AS Henry Paulson merupakan contoh lainnya dari shell game
.: Website Resmi STEI SEBI :.
http://www.sebi.ac.id Dikembangkan oleh fozzixSystem Inc. Generated: 30 October, 2008, 18:46
yang telah menyebabkan Amerika terjerumus ke dalam kesulitan. Banyak bank investasi dan lembaga credit rating
percaya dengan kekuatan magis financial alchemy--pandangan bahwa nilai yang berarti dapat tercipta dengan slicing
and dicing, mengiris dan memotong surat-surat berharga. Pandangan baru sekarang adalah bahwa nilai riil dapat
tercipta dengan un-slicing and un-dicing--menarik aset-aset ini dari sistem keuangan dan menyerahkannya kepada
pemerintah. Namun, aset-aset itu perlu dibayar dengan harga yang tinggi yang cuma menguntungkan bank.
Pada akhirnya ada kemungkinan besar bahwa jika rencana semacam itu pada akhirnya diadopsi, maka yang dirugikan
adalah para pembayar pajak di Amerika. Dalam ekonomi lingkungan ada prinsip dasar yang disebut polluter pays
principle. Semua ini cuma persoalan ekuitas dan efisiensi. Wall Street telah mencemari ekonomi dengan limbah hipotek
beracun. Ia harus membayar ongkos membersihkan pencemaran yang dilakukannya.
Ada konsensus yang semakin luas di kalangan ekonom bahwa dana talangan berdasarkan rencana Paulson itu tidak
bakal berhasil. Jika begitu, utang nasional yang meningkat begitu besar dan kesadaran bahwa talangan sebesar US$
700 miliar itu pun tidak cukup untuk menyelamatkan ekonomi AS, akan semakin mengurangi kepercayaan dan
keyakinan dan memperparah kelemahannya.
Sementara itu, para politisi tidak mungkin berpangku tangan menghadapi krisis semacam ini. Maka, kita harus berdoa
semoga suatu kesepakatan yang dirancang dengan adonan beracun kepentingan khusus, keekonomian yang salah
arah, serta ideologi sayap kanan yang telah menghasilkan krisis ini mampu menghasilkan suatu rencana bailout yang
berhasil--atau bila gagal tidak akan menimbulkan bencana yang terlalu besar.
Perbaikan keadaan, termasuk sistem regulasi yang mengurangi kemungkinan terjadinya lagi krisis semacam ini,
merupakan satu dari sekian banyak tugas yang diwariskan kepada pemerintahan yang akan datang.

*Oleh Joseph E. Stiglitz Guru besar ekonomi pada Columbia University dan peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001