Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq
Wacana Etika dalam Bisnis
Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor".
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.
Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"
Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.
* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon, Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon
Senin, 25 Mei 2009
Jumat, 08 Mei 2009
Mempersiapkan Generasi Wirausahawan Baru Indonesia
"When planning for a year, plant corn.
When planning for a decade, plant trees.
When planning for life, train and educate people."
(Chinese proverb by Guanzi - 645BC)
Penelitian yang dilakukan oleh Global Entrepreneurship Monitor (GEM) di 42 negara pada tahun 2006, termasuk Indonesia, mendapati terbanyak wirausahawan memulai kegiatan usaha mereka di usia 25-34 tahun. Usia ini adalah saat sebagian besar orang lulus dari perguruan tinggi atau bekerja kurang dari 10 tahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa wirausahawan Indonesia saat ini adalah "produk" dunia pendidikan di era tahun 1978-1988, saat sekolah-sekolah sangat dibatasi kreatifitasnya dan lebih banyak mengejar kuantitas isi (materi) daripada inovasi.
Tidaklah heran jika kita dapati generasi wirausahawan Indonesia saat ini sangat miskin inovasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka memulai berwirausaha karena keterpaksaan (necessity), menjadikan usaha mereka sukar berkembang dan bersaing di pasar global. Sebagian besar dari mereka bukanlah wirausahawan sejati.
Oleh karena itu, adalah tugas dunia pendidikan mempersiapkan generasi baru wirausahawan Indonesia. Dunia pendidikan harus berbenah agar generasi muda dipersiapkan sejak dini. Melakukan transformasi agar kelak kita bisa melihat jutaan wirausahawan sejati dilahirkan di bumi pertiwi.
Siapakah Wirausahawan Sejati?
Tulisan ilmiah dan penelitian tentang kewirausahaan telah berkembang dan tersebar dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, psikologi, sosial dan manajemen.
Salah satu subjek penelitian yang populer, selain proses kewirausahaan, adalah tentang profil wirausahawan sejati. Apakah seorang wirusahawan sejati memiliki sesuatu yang khusus yang membedakannya dengan orang biasa?
Ada berbagai jawaban yang dihasilkan. Bahkan, tahun 1998, Michael Morris seorang profesor dari Georgetown University menyebutkan ada 17 karakter khusus wirausahawan yang dikumpulkannya dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dalam bidang kewirausahaan.
Walaupun demikian, didalam keragaman pendapat tersebut, hampir semua ahli menyetujui bahwa terdapat satu ciri yang membedakan seorang wirausahawan. Adalah kemampuannya untuk menemukan dan menciptakan sebuah peluang serta secara aktif mewujudkannya menjadi sesuatu yang bernilai untuk masyarakat.
Bagaimana Cara Mendidiknya ?
Dengan mengacu kepada hasil penelitian tentang ciri khusus wirausahawan sejati, pertanyaan berikutnya adalah, dapatkah mereka dipersiapkan? Jika dapat, bagaimana caranya?
Ada pro dan kontra untuk jawaban pertanyaan tersebut. Namun satu pendapat menarik mengatakan, bahwa jika wirausawan sejati tidak dapat dilatih, maka "profesi" ini akan menjadi satu-satunya di dunia ini yang tidak bisa disentuh dunia pendidikan. Satu hal yang tentu saja sangat absurd.
Bahkan Peter Drucker, seorang guru dibidang manajemen modern pun mengatakan bahwa wirausahawan sejati dapat dilatih. Hanya saja memang perlu perubahan dan terobosan pada metoda belajar yang tradisional serta perlu didukung oleh lingkungan yang entrepreneurial (bercirikan kewirausahaan).
Sampai saat ini, memang belum ada satu program atau kurikulum yang dianggap terbaik dalam mendidik calon wirausahawan. Namun dari berbagai penelitian dan percobaan, terdapat dua hal yang dianggap sebagai faktor kunci untuk melatih calon wirausawahan.
Pertama adalah metoda belajar yang berbasiskan pengalaman (experiental learning). Dengan metoda ini, peserta dibawa kedalam situasi khusus dimana mereka akan secara sekaligus memahami konsep, melatih ketrampilan dan membentuk sikap dan semangat seeorang wirausahawan sejati. Pengalaman yang direncanakan secara bertahap dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan membawa peserta menjadi (to be) seorang wirausahawan sejati.
Kedua adalah metoda dan lingkungan belajar yang melibatkan mentor (mentor based learning). Mentor adalah wirausahawan aktif yang dapat "menularkan" semangat dan pola pikir wirausawahan kepada para peserta. Selain itu, para mentor juga diharapkan membuka akses informasi kepada para calon wirausahawan. Akses yang dapat membantu peserta menemukan dan menciptakan peluang.
Transformasi Dunia Pendidikan
Agar dapat mengaplikasikan metoda dan lingkungan belajar tersebut, maka dunia pendidikan harus melakukan transformasi diri. Tanpa transformasi yang sungguh-sungguh semua metoda tersebut pada akhirnya hanya akan baik diatas kertas namun akan mendapatkan banyak kendala dalam pelaksanaannya.
Transformasi pertama adalah pada sistem dan budaya pengelolaan sekolah. Sistem dan budaya yang bercirikan birokrasi harus dirombak menjadi sistem dan budaya yang entrepreneurial. Sebagai contoh, dengan budaya baru ini, seluruh jajaran sekolah mendapatkan kesempatan dan penghargaan jika mereka melakukan inovasi untuk kemajuan sekolah mereka..
Transformasi kedua adalah pada standar perilaku dan kompetensi staf pengajar. Mereka tidak boleh lagi menjadikan diri mereka sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi lebih menjadi seorang pengajar pembelajar (learning teacher) yang bersama-sama para anak didik menggali dan mengolah subjek materi sehingga menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
Transformasi ketiga adalah pada sistem evaluasi (assessment) para anak didik. Evaluasi harus dikembangkan tidak hanya pada tingkatan yang rendah yaitu mengingat dan memahami materi, tetapi harus dibawa ke tingkat yang lebih tinggi hingga dapat melakukan aplikasi dan kreasi.
Terakhir dan terpenting, transformasi juga harus dilakukan pada peran, peraturan dan kebijakan pemerintah. Dengan keterbukaan dan pemahaman yang baru tentang pentingnya kewirausahaan dimasa mendatang, seharusnya pemerintah mulai dengan menetapkan visi baru dunia pendidikan dan membangun peran, peraturan dan kebijakan yang mengacu kesana.
Tanpa keempat transformasi tersebut secara menyeluruh, maka kita hanya akan menunggu waktu. Dalam dua atau tiga dekade mendatang, bangsa kita hanya akan menjadi penonton dan menjadi korban situasi yang semakin tak berdaya. Salah siapa? (MARGIMAN)
*Penulis adalah Executive Director Ciputra Entrepreneurship
When planning for a decade, plant trees.
When planning for life, train and educate people."
(Chinese proverb by Guanzi - 645BC)
Penelitian yang dilakukan oleh Global Entrepreneurship Monitor (GEM) di 42 negara pada tahun 2006, termasuk Indonesia, mendapati terbanyak wirausahawan memulai kegiatan usaha mereka di usia 25-34 tahun. Usia ini adalah saat sebagian besar orang lulus dari perguruan tinggi atau bekerja kurang dari 10 tahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa wirausahawan Indonesia saat ini adalah "produk" dunia pendidikan di era tahun 1978-1988, saat sekolah-sekolah sangat dibatasi kreatifitasnya dan lebih banyak mengejar kuantitas isi (materi) daripada inovasi.
Tidaklah heran jika kita dapati generasi wirausahawan Indonesia saat ini sangat miskin inovasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka memulai berwirausaha karena keterpaksaan (necessity), menjadikan usaha mereka sukar berkembang dan bersaing di pasar global. Sebagian besar dari mereka bukanlah wirausahawan sejati.
Oleh karena itu, adalah tugas dunia pendidikan mempersiapkan generasi baru wirausahawan Indonesia. Dunia pendidikan harus berbenah agar generasi muda dipersiapkan sejak dini. Melakukan transformasi agar kelak kita bisa melihat jutaan wirausahawan sejati dilahirkan di bumi pertiwi.
Siapakah Wirausahawan Sejati?
Tulisan ilmiah dan penelitian tentang kewirausahaan telah berkembang dan tersebar dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, psikologi, sosial dan manajemen.
Salah satu subjek penelitian yang populer, selain proses kewirausahaan, adalah tentang profil wirausahawan sejati. Apakah seorang wirusahawan sejati memiliki sesuatu yang khusus yang membedakannya dengan orang biasa?
Ada berbagai jawaban yang dihasilkan. Bahkan, tahun 1998, Michael Morris seorang profesor dari Georgetown University menyebutkan ada 17 karakter khusus wirausahawan yang dikumpulkannya dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dalam bidang kewirausahaan.
Walaupun demikian, didalam keragaman pendapat tersebut, hampir semua ahli menyetujui bahwa terdapat satu ciri yang membedakan seorang wirausahawan. Adalah kemampuannya untuk menemukan dan menciptakan sebuah peluang serta secara aktif mewujudkannya menjadi sesuatu yang bernilai untuk masyarakat.
Bagaimana Cara Mendidiknya ?
Dengan mengacu kepada hasil penelitian tentang ciri khusus wirausahawan sejati, pertanyaan berikutnya adalah, dapatkah mereka dipersiapkan? Jika dapat, bagaimana caranya?
Ada pro dan kontra untuk jawaban pertanyaan tersebut. Namun satu pendapat menarik mengatakan, bahwa jika wirausawan sejati tidak dapat dilatih, maka "profesi" ini akan menjadi satu-satunya di dunia ini yang tidak bisa disentuh dunia pendidikan. Satu hal yang tentu saja sangat absurd.
Bahkan Peter Drucker, seorang guru dibidang manajemen modern pun mengatakan bahwa wirausahawan sejati dapat dilatih. Hanya saja memang perlu perubahan dan terobosan pada metoda belajar yang tradisional serta perlu didukung oleh lingkungan yang entrepreneurial (bercirikan kewirausahaan).
Sampai saat ini, memang belum ada satu program atau kurikulum yang dianggap terbaik dalam mendidik calon wirausahawan. Namun dari berbagai penelitian dan percobaan, terdapat dua hal yang dianggap sebagai faktor kunci untuk melatih calon wirausawahan.
Pertama adalah metoda belajar yang berbasiskan pengalaman (experiental learning). Dengan metoda ini, peserta dibawa kedalam situasi khusus dimana mereka akan secara sekaligus memahami konsep, melatih ketrampilan dan membentuk sikap dan semangat seeorang wirausahawan sejati. Pengalaman yang direncanakan secara bertahap dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan membawa peserta menjadi (to be) seorang wirausahawan sejati.
Kedua adalah metoda dan lingkungan belajar yang melibatkan mentor (mentor based learning). Mentor adalah wirausahawan aktif yang dapat "menularkan" semangat dan pola pikir wirausawahan kepada para peserta. Selain itu, para mentor juga diharapkan membuka akses informasi kepada para calon wirausahawan. Akses yang dapat membantu peserta menemukan dan menciptakan peluang.
Transformasi Dunia Pendidikan
Agar dapat mengaplikasikan metoda dan lingkungan belajar tersebut, maka dunia pendidikan harus melakukan transformasi diri. Tanpa transformasi yang sungguh-sungguh semua metoda tersebut pada akhirnya hanya akan baik diatas kertas namun akan mendapatkan banyak kendala dalam pelaksanaannya.
Transformasi pertama adalah pada sistem dan budaya pengelolaan sekolah. Sistem dan budaya yang bercirikan birokrasi harus dirombak menjadi sistem dan budaya yang entrepreneurial. Sebagai contoh, dengan budaya baru ini, seluruh jajaran sekolah mendapatkan kesempatan dan penghargaan jika mereka melakukan inovasi untuk kemajuan sekolah mereka..
Transformasi kedua adalah pada standar perilaku dan kompetensi staf pengajar. Mereka tidak boleh lagi menjadikan diri mereka sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi lebih menjadi seorang pengajar pembelajar (learning teacher) yang bersama-sama para anak didik menggali dan mengolah subjek materi sehingga menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
Transformasi ketiga adalah pada sistem evaluasi (assessment) para anak didik. Evaluasi harus dikembangkan tidak hanya pada tingkatan yang rendah yaitu mengingat dan memahami materi, tetapi harus dibawa ke tingkat yang lebih tinggi hingga dapat melakukan aplikasi dan kreasi.
Terakhir dan terpenting, transformasi juga harus dilakukan pada peran, peraturan dan kebijakan pemerintah. Dengan keterbukaan dan pemahaman yang baru tentang pentingnya kewirausahaan dimasa mendatang, seharusnya pemerintah mulai dengan menetapkan visi baru dunia pendidikan dan membangun peran, peraturan dan kebijakan yang mengacu kesana.
Tanpa keempat transformasi tersebut secara menyeluruh, maka kita hanya akan menunggu waktu. Dalam dua atau tiga dekade mendatang, bangsa kita hanya akan menjadi penonton dan menjadi korban situasi yang semakin tak berdaya. Salah siapa? (MARGIMAN)
*Penulis adalah Executive Director Ciputra Entrepreneurship
Quo Vadis Kewirausahaan di Indonesia?
We are in the midst of a silent revolution -a triumph of the creative and entrepreneurial spirit of humankind throughout the world. I believe its impact on the 21st century will equal or exceed that of the Industrial Revolution in the 19th and 20th (Jeffry A. Timmons, The Entrepreneurial Mind)
Pada tahun 2006, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di Indonesia terdapat 48,9 juta usaha kecil dan menengah (UKM), menyerap 80% tenaga kerja serta menyumbang 62% dari PDB (di luar migas). Data tersebut sekilas memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa.
Terlebih lagi ditambahkan dengan data hasil penelitian dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) yang menunjukkan bahwa pada tahun yang sama, di Indonesia terdapat 19,3 % penduduk berusia 18-64 tahun yang terlibat dalam pengembangkan bisnis baru (usia bisnis kurang dari 42 bulan). Ini merupakan yang tertinggi kedua di Asia setelah Philipina (20,4%) dan di atas China (16,2) serta Singapura (4,9%).
Namun di sisi lain, data BPS pada tahun yang sama juga menunjukkan masih terdapat 11 juta penduduk Indonesia yang masih menganggur dari 106 juta angkatan kerja, serta 37 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Fakta-fakta tersebut seakan-akan menunjukkan kewirausahaan di Indonesia tidak dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kesejahteraan bangsa.
Padahal seorang pakar kewirausahaan, David McClelland mengatakan bahwa jika 2% saja penduduk sebuah negara terlibat aktif dalam kewirausahaan, maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan sejahtera. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Profesor Edward Lazear dari Stanford University yang mengatakan bahwa wirausahawan adalah pelaku paling penting dari kegiatan ekonomi modern saat ini.
Apakah ada yang keliru dari data-data tersebut? Ataukah data-data tersebut tidak mencerminkan kondisi kegiatan kewirausahaan yang sesungguhnya? Atau semua hal tersebut memang gambaran yang sesungguhnya dan kita perlu melakukan pembenahan yang lebih serius pada dunia kewirausahaan di Indonesia.
Profil Kewirausahaan di Indonesia
Kegiatan kewirausahaan di Indonesia berkembang paling pesat saat krisis moneter melanda pada tahun 1997. Dari hanya 7000 usaha kecil di tahun 1980 melesat menjadi 40 juta pada tahun 2001. Artinya banyak usaha kecil yang muncul di saat krisis tersebut dikarenakan kebutuhan (necessity) dan kurang didorong oleh faktor inovasi.
Jika data BPS tahun 2006 ditelaah lebih lanjut, 48,8 juta usaha kecil di Indonesia tahun 2006 menyerap 80,9 juta angkatan kerja. Berarti setiap usaha tersebut hanya menyediakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri ditambah 1 orang lain. Sementara itu pada saat yang sama, 106 ribu usaha menengah menyerap 4,5 juta tenaga kerja yang berarti 1 kegiatan usaha menengah menyerap 42,5 tenaga kerja.
Ada kesenjangan yang sangat besar antara jumlah skala usaha kecil dibandingkan usaha menengah serta perbedaan yang sangat signifikan dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja.
Selain itu, usaha kecil di Indonesia didominasi oleh kegiatan yang bergerak pada sektor pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan (53,5%), sementara usaha menengah banyak bergerak di sektor perdagangan, hotel dan restoran (53,7%) dan usaha besar di industri pengolahan (35,4%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia kewirausahaan di Indonesia memang tertinggal dibandingkan negara lain yang sudah memasuki abad informasi dan pengetahuan. Dunia kewirausahaan Indonesia masih banyak yang mengandalkan otot dibandingkan otak. Kerja keras dibandingkan kerja cerdas.
Apa yang harus dilakukan?
Dengan melihat profil kewirausahaan di Indonesia tersebut, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pengembangan jiwa dan karakter wirausaha sejati. Perlu lebih banyak wirausahawan di Indonesia yang dilahirkan dengan didorong oleh visi dan inovasi dan bukan semata-mata karena keterpaksaan dan hanya menjadikan kegiatan usaha sebagai tempat singgah sementara (sampai mendapatkan pekerjaan).
Hal ini menjadi tugas dari dunia pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, karakter dan ketrampilan kreatif serta sikap mandiri dan pro-aktif harus mewarnai semua kegiatan pembelajaran.
Kedua, pengembangan ketrampilan membesarkan usaha. Kegiatan usaha kecil yang sudah ada harus dibina dan dikembangkan. Jika 50% saja kegiatan usaha kecil di Indonesia berkembang dan membutuhkan tambahan 1 orang tenaga kerja, maka akan tersedia 24,4 juta lapangan kerja baru. Di saat seperti itu, mungkin kita harus mulai mengimpor tenaga kerja asing.
Hal ini dapat diupayakan dengan mengembangkan kerja sama antara pemerintah, dunia usaha dan dunia pendidikan. Ketrampilan mengembangkan usaha tersebut meliputi ketrampilan berinovasi dan manajerial yang bersifat strategis. Oleh karena itu UKM tidak dibesarkan dengan semata-mata suntikan hormon (dana).
Ketiga, arah dan pengembangan keunggulan bersaing bangsa. Negara China bekerja keras mengembangkan infrastruktur fisik untuk meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksinya. Negara India meningkatkan infrastruktur dan brainware teknologi informasi untuk dapat bersaing di dunia IT. Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Sudah merupakan hal yang nyata, bahwa interaksi dan hubungan antarnegara saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Prilaku negara sudah menjadi seperti prilaku perusahaan besar yang bersaing satu sama lain. Oleh karena itu agar dapat menjadi bangsa yang unggul dan diperhitungkan, maka Indonesia harus segera menemukan dan mengembangkan keunggulan intinya.
Setelah itu pemerintah harus mengarahkan dunia kewirausahaan untuk bergerak dan menunjang keunggulan bersaing bangsa tersebut. Dengan demikian, maka kita kelak akan melihat negara Indonesia menjadi semacam perusahaan raksasa yang menaungi puluhan juta wirausahawan sejati. (MARGIMAN)
*Penulis adalah Executive Director Ciputra Entrepreneurship
Pada tahun 2006, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di Indonesia terdapat 48,9 juta usaha kecil dan menengah (UKM), menyerap 80% tenaga kerja serta menyumbang 62% dari PDB (di luar migas). Data tersebut sekilas memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa.
Terlebih lagi ditambahkan dengan data hasil penelitian dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) yang menunjukkan bahwa pada tahun yang sama, di Indonesia terdapat 19,3 % penduduk berusia 18-64 tahun yang terlibat dalam pengembangkan bisnis baru (usia bisnis kurang dari 42 bulan). Ini merupakan yang tertinggi kedua di Asia setelah Philipina (20,4%) dan di atas China (16,2) serta Singapura (4,9%).
Namun di sisi lain, data BPS pada tahun yang sama juga menunjukkan masih terdapat 11 juta penduduk Indonesia yang masih menganggur dari 106 juta angkatan kerja, serta 37 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Fakta-fakta tersebut seakan-akan menunjukkan kewirausahaan di Indonesia tidak dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kesejahteraan bangsa.
Padahal seorang pakar kewirausahaan, David McClelland mengatakan bahwa jika 2% saja penduduk sebuah negara terlibat aktif dalam kewirausahaan, maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan sejahtera. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Profesor Edward Lazear dari Stanford University yang mengatakan bahwa wirausahawan adalah pelaku paling penting dari kegiatan ekonomi modern saat ini.
Apakah ada yang keliru dari data-data tersebut? Ataukah data-data tersebut tidak mencerminkan kondisi kegiatan kewirausahaan yang sesungguhnya? Atau semua hal tersebut memang gambaran yang sesungguhnya dan kita perlu melakukan pembenahan yang lebih serius pada dunia kewirausahaan di Indonesia.
Profil Kewirausahaan di Indonesia
Kegiatan kewirausahaan di Indonesia berkembang paling pesat saat krisis moneter melanda pada tahun 1997. Dari hanya 7000 usaha kecil di tahun 1980 melesat menjadi 40 juta pada tahun 2001. Artinya banyak usaha kecil yang muncul di saat krisis tersebut dikarenakan kebutuhan (necessity) dan kurang didorong oleh faktor inovasi.
Jika data BPS tahun 2006 ditelaah lebih lanjut, 48,8 juta usaha kecil di Indonesia tahun 2006 menyerap 80,9 juta angkatan kerja. Berarti setiap usaha tersebut hanya menyediakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri ditambah 1 orang lain. Sementara itu pada saat yang sama, 106 ribu usaha menengah menyerap 4,5 juta tenaga kerja yang berarti 1 kegiatan usaha menengah menyerap 42,5 tenaga kerja.
Ada kesenjangan yang sangat besar antara jumlah skala usaha kecil dibandingkan usaha menengah serta perbedaan yang sangat signifikan dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja.
Selain itu, usaha kecil di Indonesia didominasi oleh kegiatan yang bergerak pada sektor pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan (53,5%), sementara usaha menengah banyak bergerak di sektor perdagangan, hotel dan restoran (53,7%) dan usaha besar di industri pengolahan (35,4%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia kewirausahaan di Indonesia memang tertinggal dibandingkan negara lain yang sudah memasuki abad informasi dan pengetahuan. Dunia kewirausahaan Indonesia masih banyak yang mengandalkan otot dibandingkan otak. Kerja keras dibandingkan kerja cerdas.
Apa yang harus dilakukan?
Dengan melihat profil kewirausahaan di Indonesia tersebut, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pengembangan jiwa dan karakter wirausaha sejati. Perlu lebih banyak wirausahawan di Indonesia yang dilahirkan dengan didorong oleh visi dan inovasi dan bukan semata-mata karena keterpaksaan dan hanya menjadikan kegiatan usaha sebagai tempat singgah sementara (sampai mendapatkan pekerjaan).
Hal ini menjadi tugas dari dunia pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, karakter dan ketrampilan kreatif serta sikap mandiri dan pro-aktif harus mewarnai semua kegiatan pembelajaran.
Kedua, pengembangan ketrampilan membesarkan usaha. Kegiatan usaha kecil yang sudah ada harus dibina dan dikembangkan. Jika 50% saja kegiatan usaha kecil di Indonesia berkembang dan membutuhkan tambahan 1 orang tenaga kerja, maka akan tersedia 24,4 juta lapangan kerja baru. Di saat seperti itu, mungkin kita harus mulai mengimpor tenaga kerja asing.
Hal ini dapat diupayakan dengan mengembangkan kerja sama antara pemerintah, dunia usaha dan dunia pendidikan. Ketrampilan mengembangkan usaha tersebut meliputi ketrampilan berinovasi dan manajerial yang bersifat strategis. Oleh karena itu UKM tidak dibesarkan dengan semata-mata suntikan hormon (dana).
Ketiga, arah dan pengembangan keunggulan bersaing bangsa. Negara China bekerja keras mengembangkan infrastruktur fisik untuk meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksinya. Negara India meningkatkan infrastruktur dan brainware teknologi informasi untuk dapat bersaing di dunia IT. Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Sudah merupakan hal yang nyata, bahwa interaksi dan hubungan antarnegara saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Prilaku negara sudah menjadi seperti prilaku perusahaan besar yang bersaing satu sama lain. Oleh karena itu agar dapat menjadi bangsa yang unggul dan diperhitungkan, maka Indonesia harus segera menemukan dan mengembangkan keunggulan intinya.
Setelah itu pemerintah harus mengarahkan dunia kewirausahaan untuk bergerak dan menunjang keunggulan bersaing bangsa tersebut. Dengan demikian, maka kita kelak akan melihat negara Indonesia menjadi semacam perusahaan raksasa yang menaungi puluhan juta wirausahawan sejati. (MARGIMAN)
*Penulis adalah Executive Director Ciputra Entrepreneurship
Langganan:
Postingan (Atom)