Sabtu, 14 Februari 2009

Peran Kewirausahaan dalam Membangun Budaya Inovatif Generasi Muda


Muncul kecenderungan baru yang pelan tapi pasti, yaitu bergesernya sumber kemakmuran dari natural asset seperti tanah, sumberdaya alam, buruh murah ke manufactured tangible assets yaitu pabrik & peralatannya, dan pengetahuan yang melekat pada manusia yang mengelola usaha tersebut. Untuk mencitptakan intangible assets diperlukan pengetahuan dan informasi.

Pengetahuan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan kemakmuran. Pengetahuan baru tentang cara-cara produksi misalnya akan segera menyebar dan mudah ditiru, yang akhirnya jika tidak di-upgrade akan menjadi kurang bernilai. Pengetahuan yang menghasilkan kemakmuran di era sekarang ini adalah pengetahuan yang yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang menciptakan nilai bagi pelanggannya dan sulit untuk ditiru atau digantikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan knowledge economy berarti mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan.

Kemampuan menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan sangat dipengaruhi oleh derajat kewirausahaan seseorang, karena kewirausahaan adalah suatu proses dinamik penciptaan kemakmuran. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan dan membangun suatu visi dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia melalui tindakan kreatif. Entrepreneur cenderung menggunakan enerjinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan, ketimbang hanya melakukan pengamatan dan analisis. Dengan visinya, entrepreneur itu dengan sadar memperhitungkan risiko – baik secara personal maupun finansial – dan kemudian melakukan apa saja agar bisa mengurangi risiko dan kemungkinan gagal. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk mengindera (sensing) suatu opportunity, ketika yang lain masih melihatnya sebagai chaos, suatu yang kontradiksi, dan membingungkan. Entrepreneur itu memiliki know-how bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.

Pengetahuan yang dimiliki oleh entrepreneur itu bisa dipelajari sebagaimana kita mempelajari pengetahuan lainnya, yang lebih penting adalah menangkap spirit kewirausahaan. Spirit ini yang akan memotivasi seseorang untuk mengembangkan kemampuan entrepreneurialnya.

Dalam kesulitan ekonomi yang kita alami sekarang ini nampak ada isyarat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan pentingya inovasi. Harian Kompas beberapa minggu yang lalu memuat berita bahwa sekitar 600 paten diajukan oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Reportase majalah Asiaweek edisi Oktober 2001 melaporkan bahwa dari segi pendaftaran paten, meski Indonesia hanya menempati urutan nomor dua terbawah, tetapi dengan tertiary enrolment (penduduk yang menamatkan sekolah lanjutan atas) yang mendekati Malaysia (Indonesia 11%, Malaysia 12%) ada harapan bila situasi ekonomi dan politik sudah kondusif terbuka peluang bagi munculnya lapisan entrepreneur yang masif.

Data yang dipaparkan Asiaweek dan reportase Kompas adalah suatu isyarat positif bagi perkembangan UKM, yaitu mereka mulai akrab dengan inovasi, yang merupakan hasil dari learning orientation dan menjadi embrio bagi terbentuknya wiraswasta inovatif. Learning (belajar) merupakan salah satu sumber paling penting bagi siapa saja untuk menciptakan keunggulan bersaing. Di dalam belajar selalu berlangsung suatu dialog yang terus menerus yang memberikan ruang bagi terbentuknya proses kreatif. Proses belajar akan menghasilkan pengetahuan (knowledge) baik yang bersifat tacit maupun explicit.

Penghargaan Paten & Kesejahteraan Penduduk


Measures of Knwoledge Intensity
Country Number US Patents Number Asiaweek 1000 Tertiary Per Capita Population
Awarded (2000) 2000 Enrolment GNP 1999
Per 1000 1997% 1999 $US

Japan 32992 260.05 696 5.5 41 32050 126.6
Hongkong 548 81.79 18 2.69 24 24570 6.7
Singapore 242 60.5 34 8.5 39 24150 4
Australia 859 45.21 70 3.68 80 20950 19
N. Zealand 136 35.79 6 1.58 63 13990 3.8
Taiwan 5806 262.71 37 1.67 68 13235 22.1
South Korea 3472 74.03 59 1.26 68 8490 46.9
Malaysia 47 2.07 11 0.48 12 3390 22.7
Thailand 30 0.5 10 0.17 22 2010 60.2
Philpines 12 0.16 7 0.09 29 1050 74.2
China 163 0.13 25 0.02 6 780 1253.6
Indonesia 14 0.07 6 0.03 11 600 207
Pakistan 5 0.04 1 0.01 na 470 134.8
India 131 0.13 20 0.02 7 440 997.5
Sumber: Asiaweek October 2001

Melihat data yang dipaparkan oleh Asiaweek (Penghargaan Paten & Kesejahteraan Penduduk), kita bisa berkaca tentang kualitas wiraswasta kita dibandingkan dengan negara lain. Untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara Asia Pasifik sudah saatnya masyarakat perguruan tinggi (khususnya pendidikan tinggi teknik) mempunyai komitmen mengajarkan pengetahuan kewirausahaan agar virus entrepreneurship menyebar di kalangan lulusan perguruan tinggi sehingga dimungkinkan munculnya lapisan terpelajar yang mempunyai spirit entreprneurship yang bisa menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungannya.

Perguruan tinggi dengan tradisi ilmiahnya yaitu selalu mengedepankan sikap skeptis terhadap “theory in use” dan selalu berusaha mencari kebaruan atau dengan istilah yang dikenalkan oleh Schumpeter yaitu creative destruction sebenarnya mampu melakukan hal itu. Mengapa perguruan tinggi di Indonesia, terutama di daerah belum mampu menjadi sumber inovasi, belum mampu meningkatkan kualitas SDM melalui pemikiran dan karya? Pendapat saya, sebagai seorang pengusaha, adalah masih rendahnya spirit kewirausahaan.

Saya di sini akan menggunakan pandangan Joseph A. Schumpeter, ekonom asal Austria yang kemudian menetap di Amerika (1883 – 1950) tentang entrepreneur. Ia mengatakan bahwa perilaku dan sifat entrepreneur yang khas adalah kemampuannya, kecerdasannya dan keberaniannya yang ditopang oleh ketetapan hatinya dan keteguhan jiwanya untuk melancarkan usaha yang serba baru dengan melihat pada kemungkinan-kemungkinan potensial di masa depan dan berhasil menjelmakan menjadi kenyataan efektif.

Satu hal dari pandangan Schumpeter yang menggugah adalah penilainnya tentang entrepreneur yang sama sekali berbeda dengan pengusaha (businessman). Entrepreneur memiliki “sikap jeli” terhadap kemungkinan potensial yang terbayang dalam perkembangan masa depan, kemudian mampu merintis dan mengatur inovasi, menempuh pola baru dalam penggunaan sumber dana dan daya produksi dalam suatu kombinasi optimal yang baru pula (neue Kombination).

Penemuan (Invention) yang ada baik di dunia perguruan tinggi atau di laboratorium-laboratorium penelitian milik pemerintah tidak akan ada artinya jika tidak digunakan secara komersil. Di sinilah perlunya komunikasi timbal balik antara perguruan tinggi dengan masyarakat terutama dunia usaha agar mereka mau menggunakan temuan-temuan itu untuk digunakan dalam kegiatan usaha. Dunia usaha dan masyarakat harus diyakinkan bahwa dengan inovasi atau lebih tepat disebut Neue Kombination dapat memperbesar laba, menghemat biaya (cost reducing) atau menciptakan permintaan (demand creating).

Kemitraan antara pendidikan tinggi dengan dunia usaha menjadi prasyarat mutlak untuk merangsang inovasi di kalangan pendidikan tinggi dan para lulusannya. Banyak tugas akhir mahasiswa teknik yang potensial memiliki nilai komersil tetapi hanya tersimpan di perpustakaan saja karena belum tumbuhnya tradisi kerjasama antara pendidikan tinggi dan dunia usaha.

Untuk ke depan sudah saatnya dipikirkan oleh kalangan dunia usaha untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan masyarakat perguruan tinggi dalam kerangka untuk meningkatkan daya saing dan menyebarkan tradisi entrepreneurship di kalangan pendidikan tinggi.

Eksperimen dan Kilas Balik Pengalaman
Setiap kali saya membicarakan kewirausahaan saya selalu teringat suasana semasa kuliah di ITB dan saat mengambil keputusan ketika gelar insinyur sudah berhasil di raih. Saya akui kampus ITB berperan cukup besar dalam menumbuhkan spirit kewirausahaan saya dan sekaligus menjadi laboratorium tempat saya menjajal gagasan-gagasan kewirausahan yang terkadang terkesan “nakal”. Di ITB saya aktif dalam berbagai kegiatan kampus, diantaranya adalah menjadi pengurus koperasi mahasiswa.

Pada umumnya koperasi mahasiswa hanya labelnya saja yang menggunakan mahasiswa. Pengelolaannya kebanyakan orang luar yang bukan mahasiswa atau keluarga pegawai di lingkungan kampus. Otoritas kampus khawatir jika mahasiswa yang mengelola ada kemungkinan gagal. Padahal kegagalan itu sendiri adalah proses belajar yang harus dialami.

Ketika saya bergabung dengan Koperasi Mahasiswa ITB, seluruh pengurusnya adalah mahasiswa. Saya dan kawan-kawan belajar mengembangkan kewirausahaan secara mandiri. Kami memeras otak bagaimana agar Kopma ITB mampu bersaing dengan kegiatan usaha yang sejenis, dan mencari keunggulan yang sulit ditiru. Secara tidak sadar dalam diri saya terbangun suatu sikap ingin melayani siapa saja sebaik mungkin. Kopma ITB berkembang maju dan bahkan menjadi subdealer sepeda motor.

Pelajaran yang paling berharga selama aktif di Kopma adalah kami mempunyai pengetahuan baru tentang membangun networking, menjadi lebih peka dan jeli dalam melihat sesuatu, yakin mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan metode yang berbeda dengan waktu yang lebih singkat dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik, terbiasa berfikir berbeda dari kebanyakan, menyadari akan keterbatasan sehingga secara sadar harus bisa bekerja sama dengan orang lain. Ternyata pengalaman yang saya dapat itu merupakan suatu mekanisme kognitif yang membentuk seseorang menjadi entrepreneur. Ini baru saya ketahui ketahui ketika membaca jurnal kewirausahaan terbitan Amerika.

Ketika saya kuliah di ITB meskipun aktif di berbagai kegiatan, kuliah tidak pernah terabaikan saya pernah mendapat predikat sebagai mahasiswa teladan sehingga mendapat beasiswa khusus (grant) dari Caltex. Saya tidak diikat kewajiban melakukan ikatan dinas. Begitu lulus saya mendapat tawaran bekerja di sejumlah, diantaranya adalah Caltex. Saya berkunjung ke Caltex ketemu kawan-kawan semasa kuliah, mereka menyarankan saya membuka usaha sendiri. “Buat apa kamu bekerja di Caltex. Lebih bagus kamu bikin usaha baru. Lihat Del, kalau kamu yang bikin tangki itu, saya yakin kamu bisa pasok ke Caltex.” Mereka rupanya sudah melihat kemampuan saya berbisnis yang sudah saya lakukan di Kampus ITB.

Pikiran saya tergugah, saat itu juga saya putuskan bekerja untuk diri sendiri. Saya kemudian memanfaatkan networking yang sudah saya rintis sejak di kampus. Kesempatan dan relasi bisnis adalah salah satu dari sekian faktor penting untuk menunjang keberhasilan. Akan menjadi sia-sia jika ada kemampuan, tetapi tidak memiliki relasi bisnis. Saya sampai pada kesimpulan keberhasilan suatu usaha adalah fungsi dari kemampuan, kesempatan, relasi dan sarana.

Saya putuskan memulai bisnis baru dengan kawan-kawan, yaitu Achmad Kalla, Erwin Kurniadi, Imron Zubaidi dan Muhammad Ashari dengan mendirikan Bukaka. Pada awal kami memulai bisnis stamina dan mental kami diuji, proyek tidak mudah kami dapatkan. Bukaka mulai menapaki sukses ketika pemerintah mengeluarkan Kepres Nomor 10 Tahun 1980 yang melarang impor barang industri yang bisa diproduksi di dalam negeri. Mulailah kami membuat asphalt mixing plant dan mesin-mesin untuk pembuatan jalan raya, pompa angguk, dan garbarata dan menempatkan Bukaka sebagai perusahaan terkemuka di bidang infrastruktur.

Kami dan kawan-kawan saat memulai usaha hanya berbekal pengetahuan enjinering yang diperoleh di kampus, tetapi kami mempunyai rasa percaya diri, jika orang lain bisa melakukan tentu kita juga bisa. Kepres Nomor 10 Tahun 1980yang mengantarkan kami mendapat proyek dari pemerintah untuk membuat mesin-mesin pembuat jalan raya (padahal kami belum punya pengalaman membuatnya) mendorong kami menjadi kreatif dan inovatif. Ketika proyek sudah ditangan, kami kesulitan untuk mendapatkan mesin-mesin yang akan kami jadikan model untuk dibuat, perusahaan asing peserta tender yang kalah tidak sudi menjual produknya ke Bukaka. Ini adalah proyek kemitraan by accident kami merasa diback-up oleh pemerintah sehingga dalam menangani proyek yang sama sekali baru, kami tetap percaya diri.

Kami diboikot tetapi sekali lagi melalui relasi didapat juga barang yang kami butuhkan. Mesin-mesin itu kami bongkar dan kami analisa kelemahannya, kemudian kami membuat mesin baru berdasarkan contekan tetapi dengan menghilangkan kelemahannya. Ini yang dikenal dengan reverse engineering yaitu menyontek dengan kreatif sehingga hasil contekan menjadi lebih baik.

Pengalaman lain yang cukup mengesankan adalah ketika saya beraudiensi dengan Rektor Universitas Indonesia (UI), ketika itu masih dijabat Prof. Dr. Mahar Mardjono. Saya mengundang sejumlah mahasiswa UI untuk bekerja magang di tempat saya. Lalu Prof. Mahar memanggil lima mahasiswa. “Kamu mau bekerja magang di tempat Bung Fadel?” begitu kata Prof. Mahar kepada mahasiswanya.

Saya melihat raut wajah mahasiswa yang diundang untuk bekerja di bengkel saya itu tidak menunjukkan antusiasme. Mereka malah menunjukkan sikap kurang percaya diri. Mereka memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tidak tahu bagaimana menerapkannya. Melihat pengalaman itu, maka semakin terobsesi tekad saya untuk menyebarkan virus entrepreneurship di kalangan mahasiswa, merekalah kelak yang akan mengisi lapisan entrepreneur yang kini jumlanya sangat tipis. Obsesi saya bertambah bulat setelah melihat fakta bahwa hampir sekitar 35% luluan perguruan tinggi tidak terserap di lapangan kerja, mereka harus diubah orientasinya agar menjadi pencipta kerja.

Saya melakukan eksperimen dengan anak-anak ITB yang tergabung ke dalam CSED (Center for Studies Entrepreneur Development). Anak-anak ITB itu saya bawa ke networking business kebetulan saya juga sebagai ketua Kadin, ternyata setelah mereka mempunyai relasi mereka mampu membangun usahanya sendiri. Optima Group (suatu kelompok bisnis dari anak-anak ITB yang bergerak di teknologi informasi) adalah berasal dari CSED, belakangan ini saya mendapat kabar proyek-proyek mereka semakin berkembang.

Eksperimen saya yang lain adalah menggunakan bukan anak teknik, tetapi anak ekonomi. Saya mengajar seminar kewirausahaan di FE Universitas Trisakti. Salah satu syarat untuk lulus mata kuliah seminar kewirausahaan adalah membuat business plan. Business plan tersebut diuji layaknya business plan yang diajukan oleh perusahaan. Saya melihat daya inovasi dan kreativitas mereka sangat tinggi, beberapa business plan berhasil diimplementasikan menjadi kegiatan usaha yang sekarang berkembang dan cukup maju, itu karena ada kemitraan. Mereka dijadikan mitra oleh beberapa perusahaan yang salah satunya adalah milik orang tua mahasiswa FE Universitas Trisakti.

Untuk ke depan lulusan perguruan tinggi teknik seyogyanya memilih jalan menjadi wirausaha. Ini sejalan dengan tren jaman. Ernest & Young sebuah perusahaan konsultan internasional dalam penelitiannya pada tahun 1998 tentang visi entrepreneuralism terhadap 500 pengusaha terkemuka di Amerika diperoleh temuan yang menarik.

Entrepreneuralism akan menjadi “defining trend of the business” pada abad 21.
Akan semakin banyak orang yang memasuki kegiatan kewirausahaan.
Entrepreneuralism akan meningkat di seantero penjuru dunia, termasuk di negara-negara yang tidak masuk sebagai negara industri seperti di Afrika dan Timur Tengah.
Peluang kewirausahaan yang menjanjikan pada abad ini adalah sektor teknologi / internet, kedokteran, food service / hospitality, layanan informasi / manajemen informasi.
Lingkungan ekonomi entrepreneurial ditandai oleh “penekanan yang lebih besar pada “personal fulfillment”, “inovasi yang meningkat”, dan “creative work arrangement”.

Tanda-tanda jaman ini yang harus ditangkap oleh masyarakat kampus, terutama mahasiswa. Pada abad ini entrepreneurship memberikan unlimited opportunity terutama kepada mereka yang mampu menjalin creative work arrangement.

Entrepreneurship: Sesuatu Yang bisa dipelajari
Keengganan lulusan perguruan tinggi memilih menjadi entrepreneur salah satunya karena terjebak dalam mitos. Mahasiswa teknik hanya dibekali dengan kemampuan kognisi, tetapi tidak dibangkitkan daya afeksinya sehingga tidak terbangun orientasi sikap yang menjurus ke opportunity oriented. Lulusan pendidikan teknik lebih banyak ingin bekerja pada perusahaan ketimbang membangun usaha sendiri. Inilah tantangan ke depan yang harus dihadapi. Para lulusan perguruan tinggi sampai saat ini masih gamang memasuki dunia kewirausahaan karena adanya mitos yang seolah tidak terbantahkan. Sedikitnya ada 10 mitos yang membelenggu pikiran para pemula yang akan memasuki dunia kewirausahaan.

Mitos 1: Entrepreneur adalah pelaku, bukan pemikir
Dalam batas-batas tertentu entrepreneur memiliki kecenderungan berorientasi kepada tindakan, tetapi sebenarnya mereka juga pemikir. Mereka adalah orang yang berfikir sistematis yang merencanakan langkahnya dengan hati-hati. Entrepreneur pemikir dengan entrepreneur pelaksana adalah sama-sama melaksanakan kegiatan entrepreneurship.

Mitos 2: Entrepreneur itu dilahirkan, bukan diciptakan
Muncul anggapan bahwa tabiat dan sifat entrepreneur tidak dapat diajarkan atau dipelajari, mereka memiliki bakat pembawaan lahir. Bakat tersebut diantaranya adalah mencakup ke-agresif-an, inisiatif, dorongan, kemauan untuk mengambil risiko, kemampuan analitik, dan kemampuan human relation. Sekarang diakui bahwa entrepreneurship adalah suatu disiplin ilmu yang dapat membantu untuk mematahkan mitos. Seperti halnya ilmu-ilmu lain entrepreneurship mempunyai model, proses, dan studi kasus yang memungkinkan untuk mengkaji suatu topik dan menguraikan karakteristik obyek yang dikajinya.

Mitos 3: Entrepreneur selalu merupakan penemu (Inventors)
Pemikiran yang menganggap entrepreneur adalah penemu merupakan akibat dari kurang dipahaminya visi tersembunyi entrepreneur. Memang dalam keadaan tertentu penemu juga sekaligus menjadi entrepreneur. Di sini ada sejumlah entrepreneur yang melakukan berbagai jenis kegiatan inovatif tetapi bukan penemu. Contoh Ray Kroc, tidak menemukan franchise fast-food, tapi ide inovatifnya menjadikan McDonald merupakan perusahaan fast-food terbesar di dunia. Pemahaman terbaru tentang entrepreneurship cakupannya bukan sekedar pada invention. Tapi mencakup pemahaman yang lengkap dari perilaku inovatif apapun bentuknya.

Mitos 4: Entrepreneur adalah orang yang canggung baik di dunia akademis atau di masyarakat.
Ada kepercayaan bahwa entrepreneur secara akademis dan sosial merupakan orang yang gagal. Mereka berhasil menjalankan usahanya karena drop out dari sekolah atau dipecat dari tempat kerja. Ini kemudian digunakan untuk memahami profil entrepreneur tipikal. Secara historis sebenarnya pendidikan dan organisasi sosial tidak mengakui entrepreneur. Entrepreneur disingkirkan dari dunia perusahaan raksasa karena dianggap orang yang canggung. Dalam pendidikan bisnis, untuk contoh tujuan utamanya adalah memahami aktivitas perusahaan bukan pada siapa yang berada di balik perusahaan. Sekarang entrepreneur dipandang sebagai hero – baik secara sosial, ekonomi, dan akademik. Dia bukan lagi si canggung, entrepreneur sekarang dipandang sebagai profesional.

Mitos 5: Entrepreneur harus sesuai dengan profil
Banyak buku dan artikel menyajikan cheklist ciri-ciri entrepreneur sukses. Daftar tersebut baik yang divalidasi atau tidak didasarkan pada studi kasus dan temuan riset atas orang-orang yang berorientasi pada pencapaian. Sekarang sangat susah untuk melakukan kompilasi hingga terwujud standar profil entrepreneurial.

Mitos 6: Untuk menjadi entrepreneur anda perlu memiliki uang
Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung keuangan yang memadai. Sekarang uang bukan satu-satunya benteng untuk menghadapi kegagalan bisnis. Kegagalan bisnis yang berkaitan dengan tidak adanya dukungan finansial yang memadai sering menjadi indikator adanya problem lain dalam usaha tersebut seperti: ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk; perencanaan yang jelek dan sejenisnya. Banyak entrepreneur sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya, uang adalah sumber daya atau sarana yang digunakan untuk menjalankan usaha tapi tidak pernah menjadi tujuan akhir dari usaha itu sendiri.

Mitos 7: Anda perlu nasib baik untuk menjadi entrepreneur
Berada pada “tempat yang benar dan waktu yang tepat” selalu menjadi suatu keunggulan. Tapi yang lebih tepat adalah “keberuntungan muncul ketika kemampuan dan persiapan bertemu dengan kesempatan”. Entrepreneur adalah orang melakukan serangkaian persiapan agar berhasil menggapai kesempatan. Ketika kesempatan itu muncul dan dapat diraih sering dianggap sebagai suatu keberuntungan. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang selalu melakukan persiapan untuk menghadapi berbagai situasi dan mengubahnya menjadi sukses. Apa yang nampak sebagai suatu keberuntungan sebenarnya adalah buah dari melakukan perencanaan, menetapkan tujuan dan keinginan, mengakumulasi pengetahuan, dan melakukan inovasi. Intinya seorang entrepreneur adalah yang terus menerus waspada dan belajar untuk merespon lingkungan agar sesuai dnegan keinginannya sendiri vis a vis keinginan masyarakat.

Mitos 8: Entrepreneur mengabaikan kesenangan
Mitos mengatakan perencanaan dan evaluasi yang njelimet cenderung menimbulkan masalah yang permanen, analisis yang berlebihan menyebabkan paralysis, tapi dalam pasar yang kompetitif seperti sekarang ini dibutuhkan perencanaan dan persiapan yang cermat. Mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan suatu usaha, menetapkan dengan jelas suatu jadwal atau skedul untuk menghadapi perubahan membantu menangani masalah, dan meminimalisasikan masalah dapat dilakukan melalui perumusan strategi yang hati-hati – itu semua merupakan faktor kunci keberhasilan entrepreneurship. Dengan demikian perencanaan yang cermat – bukan mengabaikan perencanaan – adalah ciri dari entrepreneur yang sempurna.

Mitos 9: Entrepreneur mencari sukses tapi pengalaman menunjukkan tingginya tingkat kegagalan.
Adalah benar bahwa banylak entrepreneur menghadapi sejumlah kegagalan sebelum mereka berhasil. Mereka mengikuti kata bijak “Jika pertama anda belum berhasil, coba, coba lagi”. Sebenarnya kegagalan dapat memberikan banyak pelajaran, siapa yang mau belajar dari kegagalan sering mendapatkan sukses. Ini nampak jelas terlihat dalam prinsip koridor, yang menyatakan bahwa setiap langkah memiliki risiko, tapi sekaligus memunculkan peluang yang tidak diduga sebelumnya. Perusahaan 3M menemukan “Pos-it” kertas kecil yang dilapisi lem dengan tidak sengaja karena memanfaatkan lem yang tidak memenuhi kualifikasi produk. Dari pada dibuang sayang lebih baik dibuat post-it, akhirnya produk ini menghasilkan jutaan dolar dan dikenal di seluruh dunia. Sekarang catatan statistik tentang kegagalan entrepreneur itu menyesatkan. Suatu riset yang dilakukan oleh Bruce A. Kirchoff, melaporkan bahwa dari pelacakan 814.000 usaha yang mulai start pada 1977 menemukan bahwa 50% tetap hidup dan dikelola oleh pemilik awal atau pemilik baru. 28% ditutup secara suka rela, dan hanya 18% yang benar-benar gagal.

Mitos 10: Entrepreneur adalah risk taker yang ekstrim
Dalam masyarakat berkembang pandangan bahwa entrepreneur adalah orang yang suka berjudi dengan kemungkinan yang belum jelas, faktanya entrepreneur umumnya selalu memperhitungkan risiko. Semua entrepreneur yang berhasil adalah adalah mereka yang bekerja keras melalui persiapan dan perencanaan ketat untuk meminimalisasikan risiko untuk dapat mengendalikan lebih baik agar visinya tercapai.

Untuk mendobrak mitos, calon entrepreneur harus mempersiapkan pendidikan dengan baik. Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting bagi entrepreneur. Ia berperan penting dalam membantu entrepreneur menghadapi masalah yang harus diselesaikannya. Sejarah memang telah mencatat ada sejumlah entrepreneur berasal dari siswa drop out seperti William Durant, Henry Ford, Andrew Carnegie, Thomas Alva Edison dan William Lear. Secara formal pendidikan mereka tidak begitu bagus, tetapi mereka melakukan proses pembelajaran sendiri, mereka menyerap explicit knowledge melalui learning by doing sehingga mereka berhasil menyusun skema berfikir untuk dijadikan panduan menghadapi persoalan.

Pada waktu lalu berkembang pemikiran yang membedakan secara dikotomis antara entrepreneur dan bukan entrepreneur. Entrepreneur dicirikan dengan orang yang kreatif – imajinatif, berfikir bebas sedangkan yang bukan entrepreneur biasanya lebih mengandalkan logika semata, miopik dan kaku.

Sekarang ini pendikotomian tersebut tidak berlaku. Menurut penelitian David Hills dari Center for Creative Leadership, USA diperoleh temuan bahwa setiap orang itu mampu untuk menjadi kreatif. Kreativitas itu bukan bakat tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Hambatan terjadinya kreativitas diantaranya adalah pola berfikir yang tradisional. Orang tidak pernah dipicu innate creativity-nya. Kreativitas dapat diasah dengan memfungsikan peran otak kanan antara lain dengan:

Selalu mengembangkan pertanyaan, “Apakah ini merupakan satu-satunya cara terbaik, tidak adakah cara lain?”. Ini adalah suatu bentuk berfikir divergen.
Melawan kebiasaan, rutinitas dan tradisi atau sesuatu yang telah mapan.
Selalu melakukan refleksi, berfikir imajinatif.
Play mental games, yaitu mencoba melihat persoalan dari perspektif yang berbeda seperti melalui analogi atau metafora.
Terbuka untuk mendapatkan lebih dari satu jawaban yang benar
Menautkan gagasan yang nampaknya tidak berhubungan dengan persoaan yang dihadapi untuk membangkitkan solusi yang inovatif.
Mengembangkan “helicopter skill” yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu persoalan dari perspektif yang lebih luas dan kemudian menukik kembali pada fokus persoalan dan mencari solusinya dengan berbagai alternatif solusi.

Harus diakui bahwa mengembangkan kreativitas itu bukan pekerjaan mudah. Hambatan eksternal seperti tekanan waktu, tidak ada dukungan, kebijakan yang rigid adalah salah satu bentuk hambatan yang dihadapi oleh individu dalam mengembangkan kreativitas. Namun hambatan yang paling sulit untuk diatasi adalah hambatan yang berasal dari diri sendiri, yaitu berupa gembok mental yang menyebabkan kita tidak bisa berfikir merdeka. Sejumlah gembok mental yang kerap membatasi kreativitas, yakni:

Terfokus pada upaya mencari “satu jawaban yang benar”. Padahal setiap persoalan itu memiliki ambiguitas. Satu pertanyaan memiliki banyak jawaban yang benar.
Terlalu mengandalkan pada logika. Logika memang bagian penting dari proses kreatif, khususnya ketika mengevaluasi dan mengimplementasikan ide. Namun demikian pada fase proses imajinatif, berfikir logis sering menggembok kreativitas. Intuisi menjadi lebih penting, karena ia merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang kaya dengan perspektif.
Mengikuti aturan dengan membuta. Kita sering tidak cukup berani untuk keluar dari aturan. Seringkali kreativitas itu muncul karena kemampuan kita untuk melanggar aturan yang sudah ada sehingga kita bisa melihat cara baru untuk melakukan sesuatu. Contoh yang sangat bagus adalah “Shinkasen Thinking”. Jepang tidak akan mampu menciptakan kereta peluru berkecepatan tinggi bila terpaku pada rule perkeretaapian yang sudah ada.
Selalu berorientasi praktis. Membayangkan jawaban yang terkadang tidak masuk akal dari suatu pertanyaan yang logis sering memberikan inspirasi terbentuknya ide kreatif.
Menjadi terlalu spesialis. Orang yang terlalu spesialis cenderung kurang tertarik pada sesuatu yang berada di luar bidangnya. Padahal pemikir kreatif cenderung mencari ide di luar wilayah spesialisasinya.
Menghindari ambiguitas. Ambiguitas dapat menjadi stimulus yang kuat bagi kreativitas. Ambiguitas mendorong kita untuk memikirkan sesuatu yang berbeda. Ada contoh menarik, Jeffrey Erexson seorang entrepreneur mengajukan pertanyaan, “apa itu kulit?” hampir semua orang mengatakan bahwa kulit adalah jangat binatang mamalia. Erexson kemudian bertanya lagi, “mengapa bukan jangat dari ikan?” Dengan menghargai ambigiuitas ia akhirnya menemukan peluang usaha dengan mendirikan Ocean Leather Inc. Bahkan baru-baru ini anak-anak Yogya malah lebih hebat lagi, yaitu menyajikan tas dan sepatu dari kulit kaki ayam.Inilah pentingnya ambiguitas.
Takut kelihatan bodoh. Berfikir kreatif itu tidak memberi tempat bagi konformitas. Ide-ide baru jarang lahir dari lingkungan yang konformis.
Takut berbuat kesalahan. Orang kreatif dalam mencoba gagasan baru sering menghadapi kegagalan. Namun mereka tidak melihat kegagalan sebagai akhir dari segalanya. Kegagalan adalah merupakan biaya belajar untuk sukses.
Cepat mengaku dirinya tidak kreatif. Banyak orang merasa dirinya tidak kreatif, karena mereka menganggap kreatif itu hanya milik segelintir orang.

Dirilis 30 Oktober 2001

By: Fadel Muhammad

Selasa, 10 Februari 2009

Change Is No Child's Play


No matter how big the treat is, everyone wants to see what's there on his plate.

"When you are through changing, you are through." ~Bruce Barton
Time changes and it takes everything under its wings. It imbibes the essence of change in the people, their aspirations, their goals, market needs, market indicators, and all other possible determinant variables. When constitution changes, jury's verdict shifts, and then the lawyer also has to be selective about his arguments. That is how the decision makers also look at the strategic role that they have in an organisation. Change is absolute and constant; moreover change is a universal truth, universally sustained and universally applicable. Every organisation should understand and use it for the betterment of its own. The role of the decision makers is chronically absolute in respect to the change-culture building in that organisation. Just making a pro-change mind set is not enough.

The role of the change agents necessitates an exquisite competence on the diagnosis; they should go for the GAP analysis, stating clearly the present stand vis-à-vis the desired or aspired status, and thereafter strategies should be developed furnishing the most effective and efficient way to bridge the gap. The strategy building part must adhere to the prevailing processes, structures, systems, norms, people's issues and leadership style in the light of their relevance (or irrelevance) to the aspired future state. We must look at the place(s) where we should create the change to bring about the best favourable impact. But before actually going ahead with the creation of change, prerequisite is to create the right atmosphere for the change, the atmosphere where changes are positively viewed, rationally appreciated and intuitively owned by the people. Along with full top management support, one needs to access the probable acceptance level of the initiatives because it might happen that an initiative, rightly planned and fully supported by the top management, might fail due to lack of its ability to gain the buying-in conviction at the grass root level.

This across-organisational-pro-change-consensus is critical to be ensured as enthusiastic, involved and ownership-driven participation is absolutely necessary for any change initiative to taste the kiss of success. They should be thoroughly convinced about the final take away(s) that the initiatives ensure for them; otherwise, it will be always-pushed-but-never-pulled force. In any organisation, everybody looks at his plate and tries to determine what he gets out of the treat; the treat might be for a great cause, but if it fails to address any of the unmet desires of people, people suffer from the lack of intuitional drive to go for it. So the task of the top management is to build the common consensus among people about their tangible gains that the initiatives will guarantee at the end of the process, even, in some cases, in between the process. These tangibles might range from A to Z with all possible sorts of combinations and permutations, starting right from money, through career growth, knowledge enhancement, to improved working environment, team spirit and so on. When that individually collective consensus is gained, that is when you can get owners of your change process from people who will actually be enthusiastic to roll their sleeves up and work to make the change work.

To convince them about their gains out of the change initiatives, options are plenty and their success lies in the right assessment of nature of organisation, need of the hour, nature of the change, that of leaders, initiators, implementers, timing and mode of the implementation, communication of the implementation, communication of the post-implementation results etc., because all these closely shape people's perception of the change initiatives and their responding behaviour up on the same. That is why it should be entirely an action-research way of approach to the process.

For example, an organisation thought of changing the entire recruitment process and gave it a very modern shape. With the previous recruitment model, the organisation experienced staggeringly huge backlogs of manpower, even the general awareness of the HR department on that issue was quite vague and prejudice driven. People had a misconception that our compensation pattern and availability of right talents were miserably unfavourable. But a close diagnosis of the system brought the bug out which proved that it was the recruitment process which was bottleneck and worsening the sad talent-starvation of the organisation. The altered recruitment process brought skepticism in some people's minds, but when the outstanding initial result (which was a great success), was communicated to them, they also felt the actuality and indispensability of the change and happily started owning the new process. The recruitment process was closely analysed and necessary changes in almost all the required spheres like, content and presentation of the advertisement, sourcing sources, duration between short-listing and interview calls, interviewing frequency, evaluators' configuration, mode of interview, kind of treatment provided and handling of job aspiring candidates, criterion of evaluation, job requirement analysis, closer, offer letter specifications, etc were brought. When there were positive results in the new process and when people were rightly communicated about the improved results, they started having faith on the new process, came forward to get involved and own it.

The utmost prerequisite of any developmental initiative to get success is to gain the absolute faith of the top management, it should believe in the necessity, importance and value of the initiative. They, while doing the prioritisation, should always value the long term importance of an initiative over the short term cost it incurs, and should have strong faith on it.

The management should ensure an environment where change does not shock people, it becomes a habit. To do so, the culture should be empowered with flexibility and innovation. Flexibility of mind, a core value for many of today's organisations, generates the agile urge in people's minds to search for the new effective ways of doing things.

If this is a kind of culture that any organisation is eyeing at, then isolation is the sure-shot of death for that process. We should always think strategically, and not mere periodically. Today, when we are in a cost-competitive environment, we should go deep into even any one single activity to evaluate its contribution to the bottom line of the overall organisation in a long run. Now organisations are left with very few options to create differential advantage over others as technology, product, services, process, system, etc. everything can be copied (or inspired on); but what can not be copied is people, people competence is what defines and differentiates the organisations. There has to be a direct and specific correlation between all the initiatives to gain the maximum out of this advantage. As all the initiatives touch one common factor, people, we should bring in proper aligning of all the decisions taken to serve both the business face and human face of the organisation to compete, succeed, sustain and lead for a long race (correlated relay-race).



By - Aniruddh Banerjee

Minggu, 01 Februari 2009

HOW TO USE RECESSION TO BEAT THE PANTS OFF YOUR COMPETITORS

If you want to learn the tricks of the trade in recession, the first rule of the game is, understand the economic difference between a recession and a depression. They say a recession is when your neighbour loses his job. And a depression is when you lose yours :-) Actually, the same rule applies for companies too! Till the time your competitors are getting rogered, it’s ‘fair play’; the moment the downfall hits you, it’s ‘George Bush must go’! But seriously, the National Bureau of Economic Research defines a recession quite succinctly as the time when business activity (a conglomeration of factors like employment, industrial production, real income and wholesale retail sales) starts to significantly and regularly fall! Generally, if the fall is more than 10%, economists term the extreme recession as depression! At a time when the IMF has forecast that the total hit due to the subprime crisis could well touch the gut wrenching mark of $1 trillion, it’s quite imperative that corporations globally develop strategies not just to survive, but to lead the market and to beat competition!

So what do the world’s most excellent CEOs do to tackle recession? The first question is, can you forecast recession itself? Nobel laureate and top-notch economist Paul Samuelson had claimed, “Economists have correctly predicted nine of the last five recessions.” In other words, it’s perhaps better to learn what to do when recession hits, rather than waiting in fearful anticipation year after year for recession to hit. The hilariously famous presenter Jon Stewart had side-splittingly commented once, “Bush advisers have long been worried that a lagging economy could hamper the Republican Party’s re-election chances. They hope that the Cabinet shake-up will provide a needed jolt. If that doesn’t work, North Korea has to go!” Tackling recession doesn’t really require literally ‘bombastic’ strategies (as the ones Bush uses regularly, whether in Iraq, or now in Iran) but intelligent and simple tactics!

It was just a few months ago that I met the hallowed Ram Charan (Fortune considers him one of their favourite management gurus), over lunch. And it was only two months ago that he wrote the classic ‘Investor’s Special for the Recession Economy’ in Fortune, where he gives four simple and broad principles for CEOs to crack the recession conundrum, which are: (1) Keep Building: “Do not consider product development, innovation, and brand building optional. Sacrificing your future for a slightly more comfortable present is not worth it.” (2) Communicate Intensively: “It’s counterintuitive but true that when the economy slows down, the pace of decision-making has to speed up. The companies that are readiest to act on solid information are primed to shoot ahead of the business cycle.” (3) Evaluate Your Customers: “In good times, companies manage the P&L; in bad times, cash and receivables matter more. Therefore, you need to identify your higher-risk, cash-poor customers. You could decide to simply not supply them anymore.” (4) Just Say No To Across-The-Board Cuts: “By all means cut costs if it makes sense to do so, but make sure there is purpose in how you do it.”

Jay Leno, the king of standup acts, gave a classic perspective of the US economy in one of his shows: “Some good news for the economy. President Bush went on a month-long vacation.” Companies, like I mentioned before, wouldn’t necessarily find the blame game as easy as Jay wishes it to be. Harvard Business School, in its most recent April 2008 posting, gives a tempered, but well researched, response with its paper, ‘4 Steps to Growth During a Recession’. First, “Invest heavily in research and development” – Your competitors may in general cut R&D investments; ergo, your investment increase would yield a “strong product advantage” in the future. Steve Jobs quoted a few days back, “In the last recession, we were going to up our R&D budget so that we would be ahead of our competitors when the downturn was over… And it worked! That’s exactly what we’ll do this time!” Second, “Spend some time learning about the customers of your weakest competitors” – Instead of focusing on bagging your strongest competitors’ largest clients, choose these times to add attractive customers of your weakest competitors, who would not have the wherewithal to withstand your attack. Third, “Identify your most critical suppliers and distributors” – Find out ways you could help these suppliers and distributors. HBS quotes, “Even the smallest gesture can sometimes build an enduring loyalty that will pay off for years to come.”

Prime time TV host Craig Kilborn commented recently, “President Bush’s economic plan will create 2.5 million new jobs. The bad news is, they are all for Iraqi soldiers!” After you’ve recovered from your sarcastic chuckles on this statement, is the fourth, and I think the most important of HBS’ learning philosophies, “Think carefully about your talent needs” – When weaker competitors try to survive, many excellent employees of these companies would find themselves without jobs. Recession is the best time to grab on to these world-class employees and give them jobs and responsibilities that they’ll cherish for a long time with unwavering loyalty!
The most distinguished Professor John Quelch, who is also the Senior Associate Dean at HBS, added his expert views for the marketing heads in his terrific treatise, ‘Marketing Your Way Through Recession’, which came out just around a month back. Some of his key recession mantras for the marketing team are: (a) Research the customer well before deciding on pricing tactics. Price elasticities might not change as dramatically as you might expect. (b) Maintain marketing spending. Recession is surely not the period to cut advertising. Recession creates, as Quelch says, “uncertain customers, who need the reassurance of known brands,” and thus ensure customer loyalty for years. (c) Adjust pricing tactics. In other words, rather than cutting the price of your product (which will immediately send a wrong signal about quality), intelligently play around with newer promotional schemes, give credit to the A-category customers, play around with the quantity of your product in, say, every pack (price it the same, but start giving a non-noticeable less, for example). (d) Ensure employees (and customers) believe in the core values of your oganisation and believe that your organisation will get through tough times! For that, the CEO himself must “spend more time with customers, and employees.”

My favourite David Letterman’s classic and ripping statement stays with me forever, “Al Gore says President Bush’s economic plan has zero chance of working. Now, this raises on important question: Bush has an economic plan?!??!” Seriously, look at yourself and ask, do you as a CEO have a plan in place if recession hits you?

Chris Zook and Darrel Rigby, noted consultants of the globally renowned consulting firm, Bain & Company, a few years back had warned through their path breaking paper (Strategy For The Recession) that CEOs globally today don’t have a ghost of an idea of what their Plan B would be if recession were to hit their economy/company. Think about it again yourself. What is the reason that you don’t currently have a Plan B if the economy crashes? Zook and Rigby recommend that as a CEO, you should most necessarily “build strategic contingency planning into your culture,” even if the economy looks really rosy currently. A fact supported fanatically by McKinsey & Co in their quite readable paper that came out in Spring 2007, Preparing For The Next Downturn.

There was once a millionaire CEO who, while on a lone yachting expedition across the Atlantic, got his yacht smashed up in a thunderstorm, floated for a fortnight living on molasses, till one day, half dead already, he floats ashore on a completely isolated island in the middle of nowhere, when he sees an amazingly seductive super-model of a woman, wearing palm leaves, walk over to him. She smiles at him, tells him how she also is a shipwreck living alone on the island. She then guides him to her awesome tree home, gives him delicious water, vegetarian food and fruits to eat, new clothes made out of super-fashionable leaves, provides him a top quality razor made out of animal bone to shave his overgrown beard, shows him her utopian teakwood bathroom, which even has a shower for him made out of bamboo sticks with coconut water pouring out! The CEO’s over the moon! Freshened up, he comes out of the bathroom to see her lying down on her super sized banyan bed, dressed in a very tasteful sarong, when she whispers, “Guess what more I can provide to you!” He thinks for a moment, and then his eyes light up like crazy, and he screams in pleasure, “Don’t tell me you have email too!!!”

Dear CEOs, the final learning is, in a recession, in your attempts to read too much in market dynamics, don’t miss the obvious!

By: A Sandeep